Berkaitan dengan penggunaan istilah-istilah yang sudah populer di tengah masyarakat, antara lain politik dan siyasah, maka perlu kiranya kita merujuk kembali pengertian dan pencitraannya. Mengapa demikian? Karena untuk memahami makna sebuah kata atau istilah secara akurat harus memahami benar sumber pemunculannya, latar belakang sejarahnya, tujuan, kondisi saat itu, dan pemahaman bahasa masyarakat pada awal pemunculannya. Oleh karena itu tentu kurang tepat jika hanya memahami suatu istilah dengan kondisi kekiniaan, dimana waktu yang panjang dan proses sejarah manusia telah mengalami berbagai gejolak dan perkembangan, tanpa melihat konteks awalnya.
Dalam catatan sejarah manusia, istilah “politik” muncul di Yunani sekitar abad ke-4 sebelum masehi dalam sebuah buku filsafat yang dikarang oleh seorang pemikir klasik bernama Plato murid dari Socrates. Buku tersebut berjudul asli politeia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tradisional menjadi The Republic (sumber :Wikipedia bahasa Indonesia).
Politeia berasal dari kata "polis", yang lebih kurang dapat diterjemahkan sebagai kata "kota", atau lebih tepatnya "negara-kota". Untuk mencerminkan makna ini, banyak bahasa menerjemahkan Politeia sebagai Negara (bahasa Inggris: The State), termasuk bahasa Belanda (De staat) dan bahasa Jerman (Der Staat). Konsep politeia dalam bahasa Yunani kuno dianggap sebagai suatu cara hidup. Jadi, pada kenyataannya terjemahan yang lebih tepat mestinya adalah 'bagaimana cara kita hidup sebagai masyarakat' (untuk pemahaman yang lebih baik lihat Politik karya Aristoteles muridnya Plato).
Di dalam karya ini, Plato tampaknya menggunakan kata "politeia" secara lebih spesifik dalam pengertian bentuk pemerintahan, setidak-tidaknya menurut Liddell dan Scott dalam kamus mereka Greek-English Lexicon.
Dalam perkembangan selanjutnya filsafat plato ini menjadi acuan pokok bagi bangsa Eropa khususnya sampai sekarang dalam mengatur sistem bernegara yang memunculkan teori politik dengan berbagai turunannya.
Definisi Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
- politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
- politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
- politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
- politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
Teori politik
Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dan seterusnya.
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme, autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dan sebagainya.
Tokoh Pemikir Politik
Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter antara lain adalah: Socrates, Plato, Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci, Harold Crouch, Douglas E Ramage. Dari Indonesia beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional antara lain: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.
(Sumber : wikipedia)
Perbedaan Buah Pikiran Manusia dan Wahyu Allah
Dari keterangan di atas tampak bahwa pemunculan politik adalah dari hasil ‘budidaya’ logika dan nafsu manusia. Dimana filsafat politik ini dikeluarkan oleh orang-orang kafir dari bangsa Eropa. Mereka bukanlah ulama, bukan pula Nabi dan Rosul yang wajib diikuti. Politik bukanlah bagian wahyu Allah.
Sedangkan siyasah berakar kata sâsa – yasûsu, asalnya makna siyasah tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata siyasah dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Namun sekali lagi, siyasah yang diterapkan para Nabi sejak dahulu pada Bani Israil sampai umat Muhammad tidak menggunakan logika dan nafsu atas semua ucapan dan tindakannya, namun atas dasar wahyu.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤)
“dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An Najm ayat 3 dan 4)
Berbeda dengan politik hanya berhak diikuti oleh orang-orang kafir bukan oleh hamba Allah yang beriman, karena dari tujuannya adalah bagaimana meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional dengan segala konsekuensinya. Mungkin dengan revolusi, kudeta berdarah atau halus, demonstrasi dan seterusnya. Apakah Allah membenarkan cara yang demikian? Apakah Muhammad Rosulullah seorang pengikut ahli filsafat politik juga? Tentu bukan jawabannya.
Rosul kita dan para sahabatnya hidup setelah zamannya Plato, dimana pada masa beliau SAW sudah ada dua kekuatan negara adidaya yang berlandaskan filsafat politik yaitu Persia dan Romawi. Namun sama sekali rosulullah dan sahabatnya tidak memulai dan mengakhiri langkah dakwah penyebaran Islam dengan mengambil filsafat teori kekuasaan tersebut. Beliau dicetak (sibqhoh) dengan Al Quran bukan dengan logika dan nafsu. Nabi berbuat, berucap dengan dengan menunggu perintah wahyu meskipun dalam keaadaan yang sangat sulit. Niat dan cara yang ditempuhnya benar, maka tidaklah cukup niat yang benar dengan mengabaikan cara yang benar. Karena hal ini tidak akan mencapai tujuan dan ridho Allah serta pasti dikalahkan oleh orang-orang yang secara total menghalalkan segala cara.
Beliau SAW bahkan pernah ditawarkan Kekuasaan dan Harta oleh pamannya yang bernama Abu Tholib, tapi ditolaknya seraya mengatakan “Demi Allah wahai pamanku, sekiranya ada yang mampu memberikan matahari dan bulan di kedua tanganku agar aku berhenti dari perintah Islam ini, niscaya aku tolak, hingga Allah menjayakan Isam ini atau aku binasa dalam perjuangan ini”. Tentu orang yang berfikiran politik akan menjawab sebaliknya “terima dan kuasai masyarakat baru diajak kepada Islam”. Rosulullah Muhammad bukanlah politikus bukan pula negarawan.
Bukti nyata yang dapat dilihat siapa saja bahwa ternyata teori menguasai jabatan kekuasan atau parlemen demi ‘mewarnai’ ummat ternyata gagal total. Para tokoh Islam yang berhasil duduk di posisi-posisi penting dalam pemerintahan melalui pola demokrasi jahiliyah malah bungkam seribu bahasa, bahkan ikut terwarnai pola jahiliyah. Meskipun sebelum berkuasa mampu bersuara lantang dan menjual ‘madu’ di mulutnya, dengan jargon-jargon “jika umat Islam tidak berpolitik maka akan menjadi korban politik”.
Manhaj, jalan atau metode operasional politik tentu berbeda dengan manhaj yang dituntunkan Al Quran. Inilah dua jalan berbeda yang disinyalir dalam Al Quran, antara lain:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (An Nisa ayat 51).
Jalan politik identik dengan pengertian jibti dan thoghut. Jibti berarti sesat dan thoghut artinya yang menghalalkan segala cara. Suatu jalan yang dibangun oleh orang yang mengingkari kitabullah Taurat yang di bawa Nabi Musa as., karena Plato sebagai pencetus ideologi politik hidup setelah masa perutusan Musa dan pada empat abad sebelum perutusan Nabi Isa as. Sedangkan Bani Israil yang telah dibagi Musa as., menjadi duabelas kabilah besar telah menyebar hingga ke Benua Eropa. Dengan pengingkaran Kitabullah inilah maka mereka disebut Ahli Kitab, karena mereka memahami tapi sengaja berpaling darinya.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٥٣)
“dan bahwa (Al Quran ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Al An’am ayat 153).
Siapa saja yang menempuh jalan hidup bukan dari Al Quran, tapi secara sadar atau tidak, sengaja atau tidak sengaja mengambil jalan dari produk fikiran dan nafsu manusia seperti filsafat politik, maka berarti telah bernabi kepada Plato, bukan kepada Muhammad Rosulullah. Sedangkan manhaj yang dibangun Rosulullah Muhammad mutlak mengikuti wahyu, bukan logika dan nafsu. Meskipun ideologi politik sudah menyebar luas kala itu sampai ke Jazirah Arabiya dengan adanya Kekaisaran Parsi dan Romawi Timur di Negeri Syam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥١)فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ (٥٢)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”. (Al maidah 51-52).
Sesungguhnya sudah sama difahami bahwa Islam adalah milik Allah yang bersih, lengkap, dan sempurna. Jika seorang muslim sungguh-sungguh untuk menggali dalam Al Quran dan sunah rosulNya tentu ada sistem atau manhaj tersendiri dalam mendakwahkan dan membangun Islam ini. Dalam Addinul Islam tidak ada politik, tidak ada politik ‘ala Islam. Namun yang ada siyasah yang dituntunkan secara spesifik dan tidak akan pernah sama dengan politik. Meskipun siyasah sering diterjemahkan secara serampangan dengan politik. Namun ada sifat antagonistik antara keduanya.
Politik terbukti selamanya tidak mampu membangun keadilan yang beradab dan kesejahteraan, malah sebaliknya kebiadaban dan kesengsaraan akibat perpecahan dan permusuhan yang hebat. Sedangkan siyasah yang dituntunkan para rosul murni sebagai jalan yang diwahyukan Allah yang pasti mampu membangun keadilan dan kesejahteraan hakiki bagi seluruh manusia termasuk orang-orang kafir sekalipun.
Dalil-Dalil Penunjang :
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (٣)
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah Addin yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (Surah Azzumar ayat 3).
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (Al Maidah ayat 3).
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (
dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (Al Baqarah ayat 42)
مَا لَمْ تَحْكَم أ َئِمَّتُهَمْ بِكِتَابِ اللهِ وَيَتَغَيَّرَوا مَا أَنْزَ لَ اللهُ اِلاَّ جَعَلَ اللهُ بَأ ْسُهَمْ بَيْنَهُمْ
رواه ابو داود و اين ماجه عن عبد الله بن عمر
“Barangsiapa yang tidak berhukum kepada ketetapan Kitabullah, dan mengada-adakan selain yang diturunkan Allah, niscaya diantara mereka diadakan Allah permusuhan yang hebat (HR.Abu Dawud, Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar)
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا (٨٢)
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (An Nisa ayat 82)
Wallahu’alam bi showab.