Membincang etika dalam dunia politik sepertinya telah usai, sebab etika lahir bukan karena teori melainkan lahir dari perilaku manusia yang tumbuh dalam dirinya sendiri. Dalam dunia politik, moralitas berada dalam wilayah tersendiri. Politik merupakan the art of negosiation. Politik, memincam istilah Niccolo Machiavelli tak lebih dari the science of practical statecraft. Sedangkan moral adalah urusan lain, urusan teologi.
Politik tak lebih dari sekedar urusan teknis demi meraih dan mempertahankan kekuasaan belaka. Dalam dunia politik, ada semacam adigium yang dikenal bahwa politik itu kotor, korup, kejam, tak manusiawi. Dunia politik dipenuhi dengan taktik dan intrik demi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Saling menyikut dan saling menjegal acap terjadi, bahkan terhadap teman sekalipun, karena dalam politik tidak ada pertemanan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan.
Namun demikian, pertautan antara moral dan politik perlu medapat perhatian yang lebih, sebab, moral merupakan salah satu faktor kunci yang diharapkan mampu berperan untuk memperbaiki krisis bangsa. Moral dianggap sebagai sumber inspirasi dan kekuatan etis yang dapat memberikan wajah manusiawi terhadap proses pembangunan politik (Sayyid Husain Muhammad Jafri: Moral Politik Islam. 2003).
Sebagai pengatur, etika atau moralitas diarahkan kepada yang lain: artinya ia peduli dengan relasi antarpersonal dan interrelasi antara individu dan kelompok. Berbeda dari etika, politik mengatur utamanya relasi antara kelompok dan negara dan antara berbagai organisasi sosial-politik; secara langsung maupun tidak langsung semua ini berkaitan dengan fungsi kekuasaan negara.
Membangun Moralias Bangsa
Karena politik adalah domain publik yang menyangkut kepentingan bersama, maka moralitas yang dimaksud dalam etika politik adalah moralitas publik, bukan moralitas individu/privat. Artinya, moralitas privat yang ditunjukkan dalam perilaku individu belum dapat dijadikan ukuran untuk menilai perilaku politik. Moralitas privat mempunyai peluang dan kemungkinan untuk menjadi moralitas publik hanya jika ia lulus uji dalam ruang publik di mana seluruh warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperdebatkannya hingga moralitas itu dapat diterima sebagai nilai atau norma bersama. Maka prasyarat yang diperlukan di sini adalah proses obyektifikasi moralitas privat menjadi moralitas publik.
Para politisi yang duduk sebagai penyelenggara negara misalnya, adalah subyek yang berada di “dua dunia”, dunia privat dan publik. Moralitas privat harus bisa berjalan diantara etika-etika publik yang telah mendapat legitimasi dari khalayak luas. Seorang individu dalam kapasitas sebagai politisi harus memperhatikan persoalan-persoalan moral. Karena bagaimanapun selama moral tetap dijaga maka seorang politisi akan memiliki pertanggungjawaban atas perilaku-perilaku politiknya.
Di sinilah, pemikiran tentang revolusi moral politisi muncul dan merupakan kebutuhan mendesak berdasarkan kenyataan bahwa hingga kini sistem politik bangsa Indonesia belum dapat menyediakan cara-cara yang dapat membawa bangsa ini keluar dari krisis. Perubahan moral politisi menjadi hal yang penting untuk agenda perbaikan bangsa mengingat di tangan merekalah segala kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat dipertaruhkan. Mereka adalah pemegang kekuasaan yang dapat menentukan hitam-putihnya bangsa ini.
Revolusi moral para politisi adalah suatu ikhtiar menuju pemerintahan yang bersih (clean government). Upaya ini bukan semata-mata bermaksud untuk melakukan perubahan sistem, namun juga perubahan signifikan pada moralitas yang dikedepankan para politisi. Asumsi ini berdasar pada argumentasi bahwa sistem tetap memiliki “ketergantungan” terhadap siapa yang mengatur atau menjadi penguasanya. Sebagaimana ungkapan man behind the gun, sistem sebaik apapun, tanpa ada mekanisme kontrol yang kuat dari masyarakat, tetap bisa diselewengkan oleh penguasa. Bahkan, sistem bisa diciptakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Salah satu indikasinya adalah ketika orang mulai berbicara tentang perlunya reformasi sistem politik, pada saat yang sama, banyak orang melakukan pembenaran terhadap praktik politik yang sedang berjalan. Praktik-praktik politik yang merupakan cerminan dari nilai dan kebiasaan yang dilakukan politisi telah menjadi semacam subkultur dalam sebagian kalangan masyarakat. Praktik-praktik ini dengan mudah menyebar, diikuti dan diterima masyarakat luas sebagai suatu ‘model’ par excellence dalam melihat dan melakukan aktifitas politik. Dengan kata lain, budaya politik tersebut dibentuk dan diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik sekaligus menjadi dasar langkah tingkah laku politisi.
Ungkapan dari Lord Acton bahwa power tends to corrupt dapat menjadi gambaran yang tepat untuk menuntun kita pada realitas politik; bahwa kekuasaan (yang dihasilkan dari proses politik) cenderung diselewengkan, disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan golongan tertentu.
Mempertimbangkan kecenderungan penyelewengan yang begitu besar di pundak politisi sebagai pemegang kekuasaan, maka diperlukan suatu upaya untuk mengembalikan ruh moralitas ke dalam pribadi politisi. Karena jika sudah ada dasar moralitas yang menjadi pegangan dan landasan berpijak, diharapkan akan menjadi pondasi kokoh yang akan mewarnai pemikiran dan aksi-aksi mereka di panggung politik dalam memperjuangkan demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan (HAM) yang hilang, dan secara bertahap akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan sosial bagi seluruh elemen masyarakat
0 komentar:
Posting Komentar