. . . Perjalanan ini...akan mengajari kita untuk belajar mengerti bahwa semua kisah, semua hal, semua peristiwa, air mata, canda, tawa, dan sebuah senyuman... menyimpan pesan yang tak selalu sama... dan tugas kita tak lebih hanyalah belajar untuk bisa memahaminya . . .

Sepenggal catatan hati

Search ?

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

oleh: ama_chee

Pada dasarnya, konsep paradigma besar manfaatnya, oleh karena konsep ini mampu menyederhanakan dan menerangkan suatu kompleksitas fenomena menjadi seperangkat konsep dasar yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa diubah jika paradigma yang ada tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas fenomena yang hendak diterangkannya itu. Masalah yang paling dasar dalam wacana kita sekarang ini adalah mempertanyakan – dan menjawab – sudahkah Pancasila merupakan sebuah paradigma yang mampu menerangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia pada umumnya, dan kehidupan sosial politik pada khususnya? Bukankah kritik yang paling sering kita dengar adalah bahwa nilai-nilai yang dikandung Pancasila itu baik, hanya implementatifnya sila-silanya bagaikan terlepas satu sama lain dan penerapannya dalam kenyataan yang masih belum sesuai dengan kandungan normanya.
Pancasila, yang sejak tahun 1945 telah dinyatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia, mungkin memang masih memerlukan pengembangan dan pendalaman konseptual agar dapat menjadi sebuah paradigma yang andal. Pengembangan dan pendalaman ini amat urgen, oleh karena amat sukar membayangkan akan adanya sebuah Indonesia, yang dalam segi amat majemuk, tanpa dikaitkan dengan Pancasila.
1. Bagaimana terjadinya Pancasila
Walaupun sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat, dan sebagai anak bangsa kita sudah mendengar, memahami dan meyakini, bahkan melaksanakan berbagai gagasan mengenai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial namun rasanya sebelum tahun 1945 kita tidak pernah mendengar gagasan untuk menyatukan kelima gagasan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh, dan agar disepakati sebagai basic premises untuk mendirikan Negara Gagasan tersebut pertama kalinya diajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada sidang pertama Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Mengapa Soekarno yang mampu mengidentifikasi lima gagasan terpadu itu? Mengapa bukan tokoh lain? Pertanyaan ini sungguh menarik, dan hanya mungkin kita jawab kita mendalami riwayat hidup beliau serta visi kenegaraannya. Yang jelas, Soekarno amat yakin, bahwa bagaimanapun majemuknya masyarakat Indonesia, namun keseluruhannya itu dalam mata batin Soekarno adalah suatu bangsa. Dengan lain perkataan, sesungguhnya paradigma politik dan visi kenegaraan Soekarno adalah gagasan nasionalisme. Juga pada saat ia mempropagandakan kesatuan antara nasionalisme-islamisme dan maxisme, ia berbicara mengenai kesatuan bangsa Indoensia, yang disemangati oleh tiga ideologi tersebut.
Berdasar renungannya yang bagaikan merupakan suatu obsesi untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia yang demikian majemuk, Soekarno menyimpulkan bahwa ada lima dasar negara, yaitu disebutnya sila, yang dipandangnya sesuai untuk maksud itu, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan akhirnya Peri Ketuhanan. Di dukung oleh oratory yang kuat, pemikiran Soekarno tersebut mendapatkan sambutan yang gegap gempita dari anggota lainnya. Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, yang pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo, memang menanyakan pada tanggal 28 Mei 1945 kepada para anggota badan tersebut tentang dasar negara yang segera akan dibentuk. Sejak tahun 1944 Pemerintah Kekaisaran Jepang telah memberikan janji bahwa Indonesia – yang didudukinya sejak awal tahun 1942 – segera diberi kemerdekaan. Secara historis, Pancasila ditawarkan sebagai konsep politik dalam rangka pembentukan negara. Dengan demikian, Pancasila lahir sebagai suatu political thought, suatu pemikiran politik.
2. Apakah sebenarnya esensi dan status Pancasila itu?
Jika kita renungkan baik-baik, mungkin tidaklah terlalu keliru jika kita merumuskan esensi Pancasila itu sebagai suatu formula dasar nasionalisme Indonesia. Pancasila adalah nasionalisme, suatu faham yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa membedakan suku, ras, agama ataupun golongan, adalah suatu bangsa. Itulah semangat yang meresapi keseluruh visi politik Ir. Soekarno, yang karena kharismanya telah mempengaruhi budaya politik Indonesia. Kelihatannya, pensifatan lain dari Pancasila akan membawa kita pada gambaran yang keliru. Mungkin perlu dipertanyakan, apakah pemikiran tentang Pancasila sudah cukup berkembang sehingga layak untuk diberi predikat sebagai filsafat politik, political philosophy, setingkat dengan filsafat politik lainnya di dunia? Jika filsafat ditandai oleh pikiran yang mendalam, kritik dan sistematis, mungkin juga masih diperlukan waktu sebelum Pancasila benar-benar berkembang menjadi suatu filsafat politik. Sebabnya adalah Ir. Soekarno belum pernah berkesempatan menuangkan pikirannya secara filsafati, walaupun setelah tahun 1945 itu Ir. Soekarno pernah dua kali mengulas lebih lanjut pemikirannya dalam kursus resmi mengenai Pancasila, dalam bagian kedua dasawarsa 1960-an. Sukar untuk dibantah, bahwa Pancasila masih sarat dengan retorika.
Dalam perkembangannya dewasa ini, mungkin lebih pas jika kita memahami sila-sila Pancasila sebagai lima aksioma politik, yang diterima sebagai dalil yang tidak memerlukan rincian penjelasan lagi. Yang masih perlu kita lakukan adalah mencari kategori pemikiran dasar yang dapat memberikan makna yang utuh kepada lima aksioma politik, sehingga kita dapat memahaminya secara utuh, bukan sebagai lima konsep yang terlepas-lepas dan tidak ada kaitannya satu sama lain. Hal ini tidaklah mudah, oleh karena Pancasila demikian rentan terhadap penafsiran sesaat. Demikianlah, pada saat dunia secara ideologis terpecah antara Kubu Barat yang kapitalis dan Kubu Timur yang komunis, Ir. Soekarno sendiri sebagai “penggali Pancasila” menjelaskan bahwa Pancasila adalah “Marxisme yang diterapkan di Indonesia” atau Pancasila sama dengan “Nasakom”.
Namun kerentanan pemikiran Soekarno pada pengaruh situasi sesaat tersebut tidaklah mengecilkan makna sumbangannya terhadap eksistensi negara Republik Indonesia. Sumbangannya yang bersifat abadi terhadap Indonesia adalah anjurannya pada tanggal 1 Juni 1945 kepada BPUPKI untuk menerima lima sila tersebut dasar negara, kepemimpinannya dalam merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Perlu kita ingat, bahwa walaupun anjuran pertama mengenai lima sila Pancasila adalah copyright Soekarno, namun lima sila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebuah karya kolektif. Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut dibahas oleh 38 orang anggota BPUPKI yang masih tinggal di Jakarta pada saat reses BPUPKI antara tanggal 2 Juni – 9 Juli 1945, ditambah dengan beberapa orang anggota Chuo Sangi In, untuk kemudian dirumuskan secara padat oleh sembilan orang anggota BPUPKI. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, lima sila Pancasila tersebut telah dikaitkan dengan esensi Tujuan Negara dan Tugas Pemerintahan. Sungguh amt sukar untuk mencari kelamahan dari empat alinea Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Pemikiran lanjut tentang Pancasila, secara lebih kritis, sistematis dan komprehensif, dilakukan oleh tokoh-tokoh terpelajar Indonesia lainnya. Kita harus merenung terus menerus mengenai Pancasila ini sedemikian rupa, sehingga pada suatu saat dapat berkembang menjadi suatu Filsafat Indonesia, sejajar dengan Filsafat India, Filsafat Cina atau Filsafat Barat. Lalu status Pancasila? seperti terdapat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 – adalah suatu kontrak politik bersejarah yang bersifat mendasar dari seluruh lapisan dan kalangan dalam batang tubuh bangsa Indonesia yang besar ini. Sebagaimana halnya setiap kontrak politik, substansinya mengikat seluruh rakyat dan seluruh jajaran pemerintah. Pada saat ini baik hukum nasional maupun seluruh lapisan penyelenggara negara terikat oleh Pancasila, yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional.
3. Di mana terletak Kendala Pancasila sebagai Dasar Negara?
Tantangan dasar yang dihadapi Soekarno sebagai negarawan adalah bagaimana caranya ia mewujudkan paradigma politiknya itu, bukan saja untuk menerangkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari segi sosiologi dan kultur, tetapi juga untuk mengikat dan menggerakkannya secara terpadu dalam suatu sistem kenegaraan dan sistem pemerintah, dimana seluruhnya bisa merasa nyaman. Susahnya, dalam obsesi beliau mewujudkan kesatuan Indonesia, Ir. Soekarno agak mengabaikan betapa mendasarnya kemajemukan Indonesia, yang bukan saja ditempa oleh sejarah daerah yang lebih panjang, tetapi juga diresapi oleh perbedaan agama yang mempunyai ajaran yang amat berbeda satu sama lain. Bukan dalam satu agama yang sama bisa terdapat perbedaan dan mazhab yang dianut.
Selanjutnya, kendala utama yang dihadapi Pancasila sebagai dasar negara adalah adanya dikrepansi antara esensinya sebagai formula nasionalisme Indonesia, dengan sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan yang menuangkannya ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini terkait dengan proses perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan terpisah oleh suatu kelompok informal, dan diluar sidang BPUPKI, di bawah kepemimpinan langsung Ir. Soekarno, seorang nasionalis dan mantan pemimpin partai, sedangkan Batang Tubuh dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan oleh sebuah panitia kecil BPUPKI sendiri, dipimpin oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo, seorang ahli hukum adat dengan disertai tentang hukum adat Jawa Barat, yang seluruh anggaotanya mewakili keresidenan di pulau Jawa.
Sukar untuk membantah, bahwa keseluruhan proses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945 sangat diwarnai oleh kultur politik para anggota BPUPKI, yang sebagian besar berasal dari latar belakang budaya Jawa. Budaya politik Jawa, yang telah demikian mendasar diulas oleh Soemarsaid Moertono, berputar pada konsep kekuasaan yang terpusat di ibukota, dilingkari oleh daerah-daerah taklukan di sekitarnya. Mungkin itulah yang menyebabkan mengapa Drs. Moh. Hatta – yang agak jarang dan tidak demikian suka pidato itu – demikian berkobar-kobar berbicara sewaktu beliau membela kemerdekaan berpikir dan berbicara, dan tentang hak daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Secara implisit dan eksplisit, sebagai seorang yang berasal dari masyarakat yang mempunyai budaya politik yang bersifat egalitarian, layak ia merasa amat risau dengan kecenderungan sentralistik dan otoritarian yang terkandung dalam budaya politik Jawa itu.
Bersama dengan Ki Hadjar Dewantara, yang pernah mengadvokasikan konsep democrative met leiderschap, Soekarno sendiri tidaklah terlalu risau dengan masalah itu. Ia sendiri kemudian bahkan mengajukan dan mempraktekkan konsep demokrasi terpimpin. Secara kultural ia memang cukup familier dan nyaman dengan konsep politik itu, dan dapat merasa asing dengan kultur politik egalitarian, dimana semua orang duduk sama rendah tegak sama tinggi. Disinilah terletak kendala utama Pancasila. Konsep nasionalisme yang pada dasarnya merupakan konsep modern, dan secara teoretikal mampu menampung pluralis masyarakat Indonesia, diberi wadah konstitusional yang hanya cocok dengan budaya politik suatu daerah, dalam hal ini budaya politik Jawa. Mungkin itulah sebabnya mengapa sejarah politik nasional Indonesia berayun-ayun antara format negara kesatuan dengan negara federal, antara pemerintahan yang sangat sentralistik dengan tekanan untuk mendesentralisasikan kekuasaan dan sumber daya, hubungan yang tidak pernah stabil antara pusat dan daerah, antara keinginan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur dan keharusan untuk melancarkan rangkaian operasi militer ke daerah-daerah yang resah, antara konsep Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional yang dirumuskan dalam tahun 1965, dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang diresmikan dalam tahun 1951, antara keinginan membangun suatu Indonesia yang modern, dengan dambaan untuk memelihara dan melestarikan warisan nenek moyang.
4. Dua Tantangan Pancasila
a. Tantangan Konseptual pertama Pancasila adalah memahami dan merumuskan secara jernih – serta disepakati bersama dengan sungguh-sungguh tentang kandungan nilai dan makna Pancasila, baik masing-masing sila maupun Pancasila sebagai suatu kebulatan ide.
b. Tantangan Kelembagaan Jika kita sudah mempunyai kesamaan visi dan faham mengenai sila-sila tersebut diatas, bagaimana menuangkannya ke dalam sistem politik dan sistem kenegaraan kita ? Ringkasnya, dimensi kelembagaan Pancasila perlu memberikan jawaban terhadap kebutuhan kita memperoleh efek sinergi sebesar-besarnya dari persatuan dan kita sebagai bangsa, sambil menekan sekecil-kecilnya dampak negatif yang bisa terjadi pada demikian besarnya akumulasi sumber daya nasional di tangan mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan pemerintah, baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat daerah.
5. Pembangunan Bangsa dan Negara sebagai Konteks Pembangunan bidang Sosial Politik. Bagaimanapun, Republik Indonesia memang adalah sebuah negara nasional baru, yang didirikan oleh sebuah bangsa baru, yang baru bangkit pada awal abad ke 20, setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan sekedar pendidikan kepada sejumlah kecil kaum muda dalam rangka Ethische Politiek. Kelompok kecil kaum muda terpelajar inilah yang pertama kali menyadari bahwa sekian ratus suku bangsa yang mendiami rangkaian kepulauan ”Hindia Belanda” ini sesungguhnya adalah suatu bangsa. Mereka diikat oleh pengalaman sejarah yang sama. Dengan keyakinan itulah mereka mendirikan berbagai organisasi, yang mulanya bersifat moderat, tetapi kemudian menjadi semakin radikal. Dalam babak awal gerakan kaum muda ini bersifat elitis, kemudian menjadi populis, dengan melibatkan massa rakyat. Dapat dikatakan bahwa sejak awalnya, Republik Indonesia berdiri dan berfungsi menurut pola top-down. Susahnya, jangkauan kharisma pribadi seorang tokoh dibatasi oleh lingkungan kultural asalnya, dan seperti diingatkan Max Weber – kharisma tidaklah langgeng. Bila kharisma seseorang itu tidak memberikan manfaat konkrit, khususnya dalam bidang ekonomi, pengaruh kharisma akan segera merosot, bahkan lenyap. Hal itu terlihat jelas pada pengalaman Ir. Soekarno sebagai Presiden. Walaupun kamampuan retorikanya tidaklah berkurang sampai saat-saat terakhir. Namun keadaan ekonomi yang tidak pernah membaik di bawah pemerintahannya, ditambah dengan suasana ketidakpastian suasana revolusioner yang dikobarkannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Ia jatuh pertengahan tahun 1966 oleh rangkaian demonstrasi pelajar dan mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan. Tiga tuntutan itu adalah : turunkan harga, bubarkan kabinet 100 menteri, dan bubarkan PKI.
Secara gambling Pancasila telah diterima secara luas sebagai lima aksioma politik yang disarikan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan mempunyai sejarah yang sudah tua. Namun ada masalah dalam penuangannya ke dalam sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan, yang ditata menurut model sentralistik yang hanya dikenal dalam budaya politik Jawa. Doktrin Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional masih mengandung nuansa yang amat sentralistik, dan perlu disempurnakan dengan melengkapinya dengan Doktrin Bhinneka Tunggal Ika. Pada saat ini ada diskrepansi antara nilai yang dikandung Pancasila dengan format kenegaraan dan pemerintahan yang mewadahinya. Penyelesainnya terasa seakan-akan merupakan kebijakan ad hoc yang berkepanjangan.
Di masa depan, kehidupan politik berdasar aksioma Pancasila harus terkait langsung dengan Doktrin Bhinneka Tunggal Ika, di mana setiap daerah, setiap golongan, setiap ras, setiap umat beragama, setiap etnik berhak mengatur dan mengurus dirinya sendiri (soeverein in eigen kring). Negara dan Pemerintah dapat memusatkan diri pada masalah-masalah yang benar-benar merupakan kepentingan seluruh masyarakat, atau seluruh bangsa, seperti masalah fiskal dan moneter, keamanan, hubungan luar negeri, atau hubungan antar umat beragama. Pemerintah nasional yang efektif dalam melaksanakan dua tugas dasar pemerintah daerah, juga melayani aspirasi dan kepentingan khas dari masyarakat daerah yang bersangkutan.
Agar Pancasila yang telah dikaitkan dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar