. . . Perjalanan ini...akan mengajari kita untuk belajar mengerti bahwa semua kisah, semua hal, semua peristiwa, air mata, canda, tawa, dan sebuah senyuman... menyimpan pesan yang tak selalu sama... dan tugas kita tak lebih hanyalah belajar untuk bisa memahaminya . . .

Sepenggal catatan hati

Search ?

BINCANG FILSAFAT-POLITIK

Istilah filsafat berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu philo dan sophia. Dua kata ini mempunyai arti masing-masing. Philo berarti cinta dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak. Sedangkan Sophia mempunyai arti hikmah, kebijaksanaan, dan kebenaran. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).[1]
Filsafat sebagai bentuk proses berpikir yang sistematis dan radikal mempunyai objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Dan segala yang ada mencakup ada yang tampak (visible). Ada yang tampak (visible) di sini adalah dunia empiris artinya yang dapat dialami manusia, sedangkan ada yang tidak tampak adalah dunia ide-ide yang disebut dunia metafisik.[2]
Dalam perkembangan selanjutnya, objek material filsafat dibagi atas tiga bagian yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Dan ada pun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya, intinya.
Di samping pengertian diatas, berfilsafat berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia dan membantu manusia untuk memecahkannya. Kenyataan seperti ini, tentu membawa filsafat pada pertanyaan-pertanyaan tentang tatanan masyarakat secara keseluruhan yang notabene adalah juga bidang politik.
Bagi Nietzsche, filsafat adalah sebagai praktik pembentuk kehidupan sebagai perjuangan dan kegagalan serat gelombang pasang energi eskatik yang mengubahnya dari malaise idealisme melalui ribuan malam-malam gelap menuju pencapaian kesehatan yang bersemangat. Senada dengan Nietzsche, Gramsci pernah mengatakan bahwa filsafat yang sejati bukan merupakan cabang kajian yang terisolasi, tetapi dalam dirinya sendiri mengandung seluruh hal-hal fundamental yang dibutuhkan untuk mengonstruksi konsepsi tentang dunia yang total dan integral dan segala hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan organisasi masyarakat politik yang integral dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, politik gramsci mengarahkan dia pada filsafat, dan filsafatnya sepenuhnya bersifat politik. Dengan kata lain, Gramsci melihat filsafat sebagai pendidikan politik, dan politik sebagai arena untuk menerapkan pengetahuan filosofis.[3] Dalam arti bahwa filsafat sebagai penyedia konsep bagi politik. Sedangkan konsep-konsep yang disediakan filsafat di terapkan dalam bidang politik. Dan pada tingkat ini, filsafat saling kerja sama, saling membutuhkan.
Bagi Plato, filsafat adalah pengetahuan tentang segalanya. Dan bagi Aritoteles, filsafat adalah menyelidiki sebab dan azas segala benda. Karena itu, Aristoteles menamakan filsafat dengan “teologia” atau “filsafat petama”. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam negara seperti Indonesia, kekuasaan negara dibagi atas 3 (tiga) bagian. Pertama, Lembaga Eksekutif oleh Presiden. Kedua, Lembaga Legislatif oleh DPR. Ketiga, Lembaga Yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga-tiganya bersifat independen. Artinya tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Politik juga sering dikaitkan dengan hal penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Yang menyelenggarakannya bukan rakyat, tetapi pemerintahan yang berkuasa. Hanya saja partisipasi rakyat sangat diharapkan. Tujuannya agar kerja pemerintahan dapat terlaksana dengan baik. Percuma suatu pemerintahan menyelenggarakan negara tanpa dukungan dari rakyat. Karena itu, kerja sama antara keduanya sangat diharapkan. Rakyat menyampaikan aspirasi kepada pemerintahan melalui wakil-wakilnya di Parlemen yang diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) baik pusat maupun Daerah serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah).[1]
Dari pengalaman menjadi warga negara Indonesia, ada 2 (dua) pengertian politik. Pertama, Kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di dalam masyarakat. Kedua, segala sesuatu yang berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Pengertian pertama mau menegaskan bahwa Politik berkaitan dengan “kekuasaan”. Kekuasaan adalah tujuan para pelaku politik. Karena itu, para pelaku politik dapat melakukan apa saja demi meraih dan mempertahankan kekuasaan. Beberapa contoh sikap dan usaha para pelaku politik untuk meraih kekuasaan misalnya: melalui kampanye Pilpres (Pemilihan Presiden), kampanye legislatif, dan lain-lain. Usaha mempertahankan kekuasaan misalnya: melalui lobi-lobi politik antara pelaku politik (elit politik), menjalankan kebijakan pemerintahan secara efisien, sehingga ada kemungkinan untuk terpilih kembali, atau melakukan money politic agar mendapat dukungan pejabat pemerintahan dan para pelaku politik lainnya. Sedangkan pengertian yang kedua berkaitan dengan kebijakan pemerintahan dalam negara. Kebijakan Pemerintahan ada bermacam-macam di sini. Pertama, kebijakan dalam negeri yang terdiri dari kehidupan sosial dan budaya, politik, ekonomi, pertahanan keamanan, dan lain-lain. Kedua, kebijakan luar negeri yang berurusan dengan hubungan dengan negara lain. Namun, pemerintahan berkuasa dalam menjalankan segala kebijakannya tersebut paling tidak harus didukung oleh 2/3 anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Jika tidak, pemerintahan akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kebijakan tersebut. Karena tidak didukung oleh sebagian besar anggota Parlemen. Tapi jika pemerintahan didukung oleh 2/3 suara mayoritas di parlemen, maka dengan sendirinya kebijakan-kebijakan pemerinthan tidak akan mengalami hambatan-hambatan dalam penerapannya.
Ada berbagai macam sistem politik yang dianut oleh negara-negara di dunia antara lain: sistem anarkisme, autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki. walaupun dalam kenyataannya sistemsistem politik tersebut berakhir tragis. Namun, sebetulnya punya tujuan sama yaitu membangun masyarakat beradab, dan berbudaya tinggi.
Definisi Filsafat Politik
Setelah mengetahui pengertian filsafat dan politik, maka definisi filsafat politik diperoleh melalui gabungan keduanya, yaitu sebagai suatu upaya untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik secara sistematis, logis, bebas, mendalam, serta menyeluruh. Berfilsafat berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia dan membantu manusia untuk memecahkannya. Kenyataan ini tentu membawa filsafat pada pertanyaan-pertanyaan tentang tatanan masyarakat secara keseluruhan yang nota bene adalah bidang politik tempat masyarakat bernaung. Dan di situ filsafat muncul sebagai kritik. Dalam upaya kritisnya tersebut, filsafat menuntut agar segala klaim para pelaku politik untuk menata masyarakat dapat dipertanggungjawabkan dengan benar dan tidak membiarkan segala macam kekuasaan menjadi mapan begitu saja. Artinya pelaku-pelaku politik dituntut untuk sungguh-sungguh menjadi pengayom dan pelayan masyarakat banyak. Dan bukan sebaliknya yaitu penindas masyarakat. Di negara-negara modern, penguasa punya tanggung jawab mensejahterakan rakyatnya. Rakyat sejahtera berarti tujuan kebijakan-kebijakan politiknya terlaksana dengan baik. Dengan kata lain, janji-janjinya kepada rakyat terpenuhi.
Filsafat Politik berarti pemikiran-pemikiran yang berkaitan tentang politik. Bidang politik merupakan tempat menerapkan ide filsafat. Ada berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut mendorong perkembangan politik modern yaitu liberalisme, komunisme, pancasila, dan lain-lain.
Bagi Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan konsep pemikiran. Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara adalah cerminan mansuia yang menjadi warganya.[1]
Bagi Agustinus, filsafat politik adalah pemikiran-pemikiran tentang negara. Menurutnya negara dibagi 2 (dua) yaitu negara Allah (civitas dei) yang dikenal dengan negra surgawi “kerajaan Allah, dan negara sekuler yang dikenal dengan negara duniawi (civitas terrena). Kehidupan di dalam Negara Allah diwarnai dengan iman, ketaatan, dan kasih Allah. Sedangkan Negara Sekuler “duniawi”, menurutnya identik dengan negara cinta pada diri sendiri atau cinta egois ketidakjujuran, pengmbaran hawa nafsu,
keangkuhan, dosa, dan lain-lain. Dengan jelas bahwa filsafat politik negara Allah Agustinus merupakan penjelmaan negara ideal Plato.[1]
Menurut Machiavelli, filsafat politik adalah ilmu yang menuntut pemikiran dan tindakan yang praktis serta konkrit terutama berhubungan dengan negara. Baginya, negara harus menduduki tempat yang utama dalam kehidupan penguasa. Negara harus menjadi kriteria tertinggi bagi akivitas sang penguasa. Negara harus dilihat dalam dirinya tanpa harus mengacu pada realitas apa pun di luar negara.
Sumber:
[1] Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 8
2 Dr. Amsal Baktiar, MA, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. 2, hlm. 2
3 Dikutip dari “http://id. wikipedia. org/wiki/Politik
4 Daniel T. Sparinga, Menyelamatkan Masa Depan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Harian Kompas, 2000), hlm. 24.
5 J.H. Rapar, Filsafat Politik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 3
6 Ibid., hlm. 303.

0 komentar:

Posting Komentar