Kita memang tidak pantas ke Piala Dunia! Maaf jika inilah kalimat pembuka yang harus saya berikan pada kalian, siapapun yang membaca tulisan ini. Saya serius, kita sama sekali tidak pantas! Mental kita terlalu rendah untuk siap menerima kemenangan, kita cepat terlena pada pencapaian sederhana seperti menaklukkan negeri-negeri kecil yang pada saat mereka masih bergayut di pohon, founding father kita sudah mampu meneriakkan kesetaraan bangsa Asia dan Afrika. Mampu menciptakan gerakan yang menyatukan bangsa-bangsa yang lama diderita kolonialisme barat.
Silakan Anda berpendapat bahwa rasa patriotisme saya rontok sampe ke dengkul, silakan juga Anda mencerca saya lewat berbagai jaringan social media atau komentar-komentar pedas di kolom ‘Komentar’ di bawah ini. Tapi saya tegaskan dan berani menjamin bahwa saya akan terus ikuti kemanapun anak-anak Garuda ini pergi. Saya juga tak peduli pada mereka yang menganggap saya sebagai arogan karena mendiskriminasi mereka yang terkena wabah euphoria semu saat tim kita memukul Malaysia dengan skor telak 5-1 di rumah kita.
Saya menganggap Sepakbola sebagai pemersatu bangsa. Perekat jarak antar kelas, salah satu bentuk ideologi patriotisme yang saya berani katakana sebagai medan perang dan penaklukan di era modern. Tak perlu saya bicara betapa Inggris, Jerman, Brasil, Italia, Jepang atau bahkan Singapura menjadikan Sepakbola sebagai media terdepan untuk mematenkan rasa patriotisme di dada….karena kali ini saya malas memberi kalian peluang untuk berkata “Itu kan di sana, ini Indonesia bung!”
Jelas saya sepakat pada kalian yang menyebut betapa kancutnya sistem distribusi tiket menjelang pertandingan final. Tentu juga saya merasakan kegeraman yang sama saat hasrat besar untuk menjadi saksi sukses pertama kita di Asia Tenggara dalam kurun 19 tahun terakhir ini terhambat oleh mekanisme kacau balau yang membuat kita jadi berada dalam sebuah ketidak pastian dan rasa frustasi.
Tapi biarkan saya memberi sebuah argumen yang semoga bisa membuat teman-teman berpikir dan apapun yang terjadi di rumah suci kami pada 26 Desember 2010 adalah sebuah insiden paling memalukan sepanjang sejarah Sepakbola dunia! Bagi saya sebuah sistem yang keparat seyogyanya dibalas dengan sebuah revolusi nyata yang dilakukan dengan cara yang benar. Seperti saat Ernesto Guevara dan Fidel Castro menerobos masuk Havana dengan pasukannya dan merobohkan rezim Fulgentio Batista yang menguasa. Saat Ayatollah Rahullah Khomeini memimpin rakyat Iran untuk menjatohkan rezim Shah yang sangat barat!
Jika Anda memang menginginkan perubahan dan perubahan itu harus terjadi saat ini juga….maka galanglah segala kekuatan dan segeralah berevolusi pada kekuatan besar itu. Bukan justru menginjak-injak simbol negara serta sekaligus melakukan pengrusakan yang saya bisa pastikan justru akan membuat kita rugi sendiri.
Saya percaya bahwa saya bukanlah satu-satunya manusia di Republik ini yang kecewa pada sikap mereka yang sehari sebelumnya membuat bendera Merah Putih raksasa di depan kantor PSSI itu terobek (sengaja ataupun tidak sengaja-red) dan kemudian menginjak-injak rumput Senayan yang pada dasarnya tidak anti banjir itu sembari secara berjamaah berusaha merobohkan pagar pembatas antara penonton dengan lapangan pertandingan.
Kemenangan demi kemenangan adalah hal yang patut dibanggakan, tapi terlontar sampai melewati langit ketujuh saat gelar juara belum di tangan adalah sebuah kebodohan elementer. Tak ada juara kedua yang dikenang oleh sejarah, tak ada kamus ‘hampir’ yang layak dibanggakan….apalagi bagu sebuah negara dengan segala potensi luar biasa yang mampu menaklukkan segala bangsa di muka bumi ini, apalagi kalo cuma di Asia Tenggara.
Hanya beberapa jam setelah insiden memalukan di Jakarta itu, saya dan beberapa teman saya menjadi saksi betapa berantakannya permainan anak-anak Garuda di Bukit Jalil. Harapan besar di pundak mereka terlalu besar dan kita terlalu sibuk terus menambahkannya dengan segala bentuk variasinya. Mereka yang biasa mampu berlari leluasa, seolah tak mampu berlari dengan benar sementara saya dan belasan ribu warga Indonesia yang haus akan kejayaan negaranya terus berteriak memberi semangat.
Teriakan tulus tanpa embel-embel keinginan menjadi penguasa seperti poster-poster yang terpajang tak jauh di sebrang saya. Saya tak akan pernah melukpakan kekalahan malam itu di Bukit Jalil. Pangeran Siahaan teman saya menghambur dan mengamuk pada sebuah tv swasta agar pemilik mereka berhenti mempolitisi segala euphoria ini….disusul dengan saya yang kemudian memaki mereka yang terus memburu anak-anak Garuda bagai selebritis pemegang gelar Juara Dunia.
Kita sering belajar untuk menerima kekalahan dan saya berharap kita juga sanggup untuk bisa belajar memahami kemenangan-kemenangan awal.
-andibachtiar yusuf-
0 komentar:
Posting Komentar