ditulis sehari setelah kekalahan kita di Bukit Jalil,
“Katanya cinta Indonesia, kok pulang pertandingannya belum beres?” teriak Ongston berulang kali pada pendukung Indonesia yang melenggang begitu saja dari Stadion Bukit Jalil. Saat itu Firman Utina dkk tengah dalam keadaan ketinggalan 0-2 dan kami masih terus memberi dukungan, sementara sebagian penonton mulai beranjak dari bangku Stadion.
Saya dan seorang lelaki pekerja di Malaysia asal Kediri di sisi kanan saya terduduk lesu saat Safee mencetak gol ketiga bagi timnya. Kami sadar, malam ini tak akan melihat kejayaan negeri kami di kandang orang. Sementara Ongston terus meneriakkan kata-kata “Indonesia!” hingga suaranya serak, ribuan pendukung Indonesia terus melangkah keluar dengan wajah biasa saja. Mereka tak lesu tak juga bahagia…tapi pastinya mereka kecewa.
“Jika mala mini kita menang mas, besok saya bakal libur kerja, itu tarohan saya dengan boss,” ujar Iwan lelaki asal Kediri yang tampak murah senyum ini. Ia menjelaskan bahwa kepergiannya ke Malaysia beberapa tahun lalu adalah akibat kehidupan yang sama sekali tidak menjanjikan di tempat asalnya. “Menjadi buruh kasar di Jakarta atau kota besar lainnya tidak seperti disini, disini jaminan kerja dan pendapatan bisa membuat kami menabung,” jelasnya.
Inilah wajah bangsa kita di negeri orang. Sebagian besar atau bahkan mayoritas dari mereka yang membanjiri Bukit Jalil adalah para pekerja yang bukan bekerja di sektor formal. Mereka umumnya mengais rezeki di negeri orang, melintasi batas negaranya untuk menjadi pekerja kasar di berbagai sektor, sebagian dari mereka bahkan tidak memiliki ijin kerja yang seharusnya. Inilah mengapa, nyaris setiap tahun terjadi masalah besar pekerja illegal di negeri tetangga kita itu.
“Mas datang dari Jakarta ya? Kok gak nonton di kelas 50 Ringgit yang lebih enak?” Tanya Iwan pada saya di awal percakapan kami. “Saya lebih suka disini, bergabung bersama kalian, karena buat saya, kalianlah orang Indonesia sebenarnya,” jawab saya sembari tersenyum. Iwan mungkin tidak sepenuhnya memahami makna dari jawaban saya itu, ia hanya tertawa dan menawarkan air mineral pada saya.
Tidak seperti Ongston yang terus kecewa pada beranjaknya pendukung Indonesia dari bangku Stadion sejak gol ke 3 di menit ke 72, saya berusaha merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang-orang Indonesia yang secara penampilan fisik terlihat jelas mengalami banyak hal fisik baik dari pekerjaan maupun dari semburan alam. Saya yakin mereka juga mencintai negerinya, sama seperti kita yang siap melakukan apapun demi negeri ini. Saya juga percaya bahwa mereka siap menjaga nama negeri kita jika terjadi apa-apa di negeri jiran. Namun malam itu mereka mencoba bersikap rasional menurut pemahaman mereka sendiri.
Indonesia bukanlah negeri yang telah memberikan mereka banyak kebanggaan. Saya tidak yakin mereka seperti kita yang masih bisa berkata “Indonesia adalah negeri yang kaya sumber daya alam dan berpemandangan indah,” atau seperti kata kelompok GNFI (Good News From Indonesia) “Indonesia adalah 10 besar negara dengan kemajuan ekonomi terbaik di Asia,” karena mereka sama sekali tidak merasakannya.
Iwan tak pernah melihat Jakarta, ia tak pernah tahu bahwa di ibukota jumlah mal dan gedung bertingkat jauh lebih banyak daripada di Kuala Lumpur. Malam itu ia datang ke Bukit Jalil ingin melihat negaranya berjaya, sembari bertemu dengan teman-temannya. “Kita pernah kalahkan mereka disini 6 tahun lalu, saya nonton lho mas, jadi saya yakin banget kita akan bisa menang lagi mala mini,” ujarnya dengan nada lirih saat wasit kami saling berpandangan dan ia melihat wajah saya yang dipenuhi emosi kekecewaan.
Seperti beribu pekerja lainnya, bagi Iwan inilah satu-satunya tempat dimana ia bisa menunjukkan pada bangsa Malaysia bahwa negerinya bisa juga memberikan kebanggaan padanya. Negerinya yang kaya, yang telah “mensia-siakan” dirinya sehingga ia harus merantau ke negeri orang hanya untuk pekerjaan yang sama sekali tidak bergengsi bagi kebanyakan dari kita.
Saya semakin memahami mengapa mereka beranjak begitu saja dari Stadion dan hanya tersenyum mendengar teriakan Ongston yang dipenuhi kekecewaan, kemarahan dan kesedihan. Malam itu, Indonesia sekali lagi gagal memberi kebanggaan dan mereka memastikan keesokan harinya harus siap kembali berada pada situasi inferior dari atasan mereka bahwa mereka datang dari negeri pecundang yang jangankan lapangan pekerjaan, menang di lapangan Sepakbola saja gagal.
Dibantu oleh Iwan, saya melipat bendera Merah Putih yang saya beli di Jerman tahun 2006 sebagai bendera Polandia (karena si penjual tidak tahu Indonesia). “Kok bisa kayak gini ya mas?” tanyanya. Saya hanya mampu meresponnya dengan senyum lirih, karena kita datang dengan status favorit, tim paling produktif sepanjang turnamen. Namun nyatanya, kita memang tidak cukup besar untuk mampu menerima kemenangan demi kemenangan sederhana sehingga lupa bahwa partai akhir masih ada dan gelar juara belum direngkuh.
Malam itu adalah malam penuh petaka bagi saya, saya tak bisa tidur, kekecewaan memenuhi pikiran saya. Saya sadar Indonesia tak pernah ke Piala Dunia, atau bahkan lolos ke 16 besar Piala Asia saja tidak pernah, tapi seperti berjuta rakyat Indonesia saya tak pernah berhenti berharap bahwa kita sebenarnya bisa.
Di dinihari 27 Desember 2010, di sebuah kedai kopi, seorang lelaki Malaysia yang menemukan guratan kekecewaan di wajah saya berkata “Kami tak pernah merasa akan menang, Indonesa negeri yang kuat, jadi saat kami menang tadi malam, kami tidak terlalu menyambutnya gegap gempita. Masih ada pertandingan di Jakarta dan kami bisa saja kalah,” saya tersenyum mendengar kalimat yang bagi saya cukup menghibur…..dan semoga mala mini kita kita benar-benar bisa pukul mereka, membalikkan keadaan dan kembali bangga, semoga!
-andibachtiar yusuf-
0 komentar:
Posting Komentar