. . . Perjalanan ini...akan mengajari kita untuk belajar mengerti bahwa semua kisah, semua hal, semua peristiwa, air mata, canda, tawa, dan sebuah senyuman... menyimpan pesan yang tak selalu sama... dan tugas kita tak lebih hanyalah belajar untuk bisa memahaminya . . .

Sepenggal catatan hati

Search ?

PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA PEMBENTUKAN JATIDIRI BANGSA

Bangsa, menurut Ernest Renan, pemikir dari Perancis, adalah sebuah identitas superior yang mengendap dari kesamaan nasib dan cita-cita sekelompok orang, beserta visi masa depan yang dicanangkan bersama. Membenturkan realitas masa kini dengan rumusan Renan, sepatutnya membuat kita prihatin. Kita ternyata masih jauh dari menjadi sebuah bangsa. Berbagai kelompok suku, keagamaan maupun kelas sosial ekonomi terlalu saling berjarak. Sementara visi dan cita-cita berbagai kelompok tersebut acapkali juga saling bertolak belakang bagaikan bumi dan langit.


Padahal, untuk mempertahankan keberadaan sebuah negara-bangsa di tengah arus globalisasi, identitas yang jelas menjadi sebuah keharusan, termasuk dalam hal identitas kebudayaan. Ya, sebagai sebuah negara-bangsa, seharusnya kita memiliki rumusan kebudayaan yang membuat kita bisa dibedakan dari negara-bangsa lainnya, yang bisa kita katakan sebagai jatidiri bangsa. Jatidiri bangsa ini, tentu saja bukan untuk membuat kita terpisah dari negara-bangsa lain, tetapi untuk membuat kita bisa melangkah dengan mantap ke depan, membentuk takdir dan masa depan kita sendiri. Kebutuhan akan jatidiri ini, bisa dianalogikan dengan kehidupan individu: tanpa jatidiri yang kukuh, tanpa penghayatan akan identitasnya sendiri yang otentik, seorang individu tak akan bisa bergerak ke mana-mana, kecuali mengikuti arus yang bisa jadi tak sesuai untuknya.

Pertanyaannya, punyakah bangsa Indonesia sebuah jatidiri? Beberapa pendapat justru menghasilkan kesan jatidiri yang negatif. Semisal dinyatakan oleh Nurcholis Madjid. Ia meminjam istilah Gunnar Myrdal untuk menggambarkan Indonesia: soft state. Indonesia, adalah negara yang lunak, yang warganya cenderung lemah dalam disiplin dan senang menerabas batas hukum, bahkan punya prinsip, hukum di Indonesia memang dibuat untuk dilanggar. Bahkan Mochtar Lubis dengan sarkastis menyebut manusia Indonesia sebagai manusia hipokrit: yang senang mengatakan apa yang dia tidak lakukan, yang berbeda antara perkataan dan perilakunya.

Dalam hemat penulis, apa yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid dan Mochtar Lubis adalah gambaran masyarakat bangsa ini yang tengah sakit dan justru kebingungan tentang jadirinya. Sama persis dengan sesosok remaja yang memilih untuk hidup tanpa arah dan asal-asalan, karena belum mengenal siapa dirinya sebenarnya. Sesungguhnya, jatidiri bangsa Indonesia yang otentik terkait dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, karena berbagai sebab, adakalanya tidak semua warga negara Indonesia mengenal dan menghayati jatidiri ini. Selain itu, karena ikatan kebangsaan yang tidak kuat, banyak anggota masyarakat yang lebih senang mengekspresikan diri sesuai dengan identitas kesukuan dan keagamaannya, bahkan pada titik ketika seharusnya mereka menunjukkan diri sebagai bangsa Indonesia.
Karena itulah, sepatutnya kita menyambut positif berbagai ajakan untuk kembali pada jatidiri bangsa, sebagai langkah awal untuk menata kehidupan bangsa ini dan merenda masa depan yang lebih gemilang. Menjadi kewajiban kitalah untuk merumuskan apa sesungguhnya jatidiri bangsa Indonesia yang otentik, dan kemudian menjadikannya sebagai jatidiri seluruh anak bangsa. Sebagai sebuah bangsa, yang menurut Bennedict Anderson adalah komunitas yang mewujud secara imajiner (imagined communities), semestinyalah Indonesia memiliki atribut yang menggambarkan persamaan budaya dari berbagai elemen bangsa itu, yaitu berbagai suku bangsa dan kelompok keagamaan. Dengan atribut inilah berbagai unsur bangsa yang berbeda itu dipersatukan.

Pada dasarnya, jati diri bangsa, seperti dinyatakan oleh Daniel M. Rosyid, adalah sebuah “proyek konsensus bersama”, sebuah “proses penemuan”, sebuah proses “memaknai kebersamaan sekelompok suku dalam suatu kawasan” dalam rangka memenangkan kompetisi budaya dunia. Ia bukan sesuatu yang statis: ia selalu perpaduan antara yang lama dan baru, yang asli dan asing. Ya, jati diri bangsa merupakan sebuah hasil proses kreatif suatu bangsa yang memungkinkannya bertahan dan tetap ada di tengah kompetisi antara kebudayaa-kebudayaan di dunia. 

Seiring dengan perubahan zaman, jatidiri bangsa ini sewajarnyalah mengalami pergeseran, perubahan dan dinamisasi. Namun, penulis berpendapat, pergeseran, perubahan dan dinamisasi itu semestinya hanyalah terjadi pada wilayah cabang dan ranting dari kebudayaan kita, sementara akarnya tetaplah harus dipertahankan, karena akar itu telah terbukti cocok dengan tanah, wilayah dan alam di mana kita hidup. Pada kasus Indonesia, untuk merumuskan jatidiri kita pada masa kini, yang pertama kali harus dilakukan adalah menemukan akar kebudayaan kita: seperti apakah ia? Akar kebudayaan inilah yang harus kita pertahankan, kita lestarikan, jangan sampai lekang oleh perubahan jaman. Kejayaan yang diraih bangsa ini di masa silam, sesungguhnya disebabkan oleh kemampuan untuk bertahan, untuk tidak tercerabut, dari akar budaya yang ditancapkan oleh para leluhur yang pertama kali datang ke nusantara. 

Kita perlu sadari, kebudayaan pada dasarnya produk olah akal budi dari sekelompok orang agar mereka bisa hidup selaras dengan alam di mana mereka hidup, agar mereka bisa mengatasi tantangan kehidupan di tanah dan wilayah yang mereka tempati. Sesungguhnya, di balik hal-hal yang selalu berubah dari alam, tanah dan wilayah tempat kehidupan kita, sesungguhnya ada yang konstan, bersifat tetap. Untuk bisa menyelaraskan diri dengan yang konstan dan tetap inilah, sepatutnya kita berpegang teguh postur kebudayaan yang telah terbukti sesuai dengan tantangan yang ada, dan itulah yang kita sebut dengan akar kebudayaan Indonesia atau Nusantara. Dengan kata lain, kita memang harus selalu berpegang teguh pada akar kebudayaan kita sekalipun jaman terus berubah, karena di balik perubahan itu, ada tantangan-tantangan yang sebetulnya bersifat tetap, yang khas Indonesia atau Nusantara, yang hanya bisa diselesaikan melalui resep kebudayaan yang sama dengan di masa lalu.

jatidiri bangsa itu adalah kearifan lokal berupa wawasan, cara pandang dunia, menyangkut Tuhan, alam, manusia, kehidupan, yang khas Nusantara, yang akarnya sesungguhnya ada pada tradisi klasik setiap suku bangsa di Indonesia. Untuk bisa membentuk jatidiri bangsa, justru kita harus “kembali” terlebih dahulu pada tradisi lokal atau tradisi suku bangsa terlebih dahulu. Artinya, kita harus terlebih dahulu menghayati keberadaan kita sebagai orang Jawa, Sunda, Bali, Papua, Maluku dan seterusnya, dan kemudian mewarnai kehidupan kita selaras dengan kearifan lokal pada tradisi-tradisi lokal tersebut. 

Seiring dengan itu, kita memunculkan kesadaran bahwa kita juga memiliki ikatan sebagai sebuah bangsa, dan dalam bentuk kebudayaan, ikatan itu dibangun dari sumbangsih berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, berupa nilai-nilai luhur yang cocok untuk dihayati dan dipakai bersama. Dalam hal ini, kita bisa menyebutkan beberapa nilai luhur yang bisa kita hayati bersama dan menggambarkan jatidiri bangsa Indonesia: berketuhanan, gotong royong, toleran, berorientasi pada pelestarian alam, mandiri atau senang berswadaya, terbuka pada orang luar, memuliakan laki sekaligus perempuan, dan seterusnya. 

Mempertimbangkan itu, kita, kaum pendidik, memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi, membimbing anak didik kita untuk menelusuri kembali akar kebudayaan dan akar tradisi mereka, kemudian mendorong mereka mengapresiasinya, menghayatinya, mempraktekkannya, kemudian saling mendialogkannya dengan sikap rendah hati. Inilah yang akan mengantarkan kita menjadi sebuah bangsa yang memiliki jatidiri yang kukuh; dan demikian, punya modal besar untuk meraih keunggulan di tengah arus globalisasi yang kian tak tertahankan.


Pancasila sebagai Titik Tolak 
Untuk tampil di kancah internasional, tentu saja kita tak bisa hanya menampilkan identitas lokal berbasis etnis maupun identitas keagamaan. Kita juga harus menunjukkan identitas kebangsaan. Pertanyaannya, apakah basis untuk identitas nasional ini? Di sinilah letak pentingnya Pancasila sebagai falsafah bersama bagi bangsa Indonesia, sekaligus sebagai dasar kehidupan bernegara.

Di dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan sebagai berikut :…”maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. 

Merujuk pada kata “berdasarkan” dalam kalimat di atas, Pancasila ditafsirkan dan ditempatkan sebagai dasar dari Negara Kesatuan Repubik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini merupakan kedudukan yuridis formal karena tertuang dalam ketentuan hukum negara, dalam hal ini UUD 1945 pada Pembukaan Alenia IV. Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi dasar atau pedoman bagi penyelenggaraan bernegara. Pancasila sebagai dasar negara berarti nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman normatif bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara. 

Hingga saat ini, secara formal Pancasila masih disebutkan di dalam dokumen-dokumen resmi sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, spiritnya tidak lagi sekuat di masa lalu, akibat kekeliruan oleh rezim masa lalu yang mengidentifikasi diri sebagai pendukung dan pengamal sejati Pancasila, tetapi justru mempraktekkan berbagai tindakan yang bertentangan dengan Pancasila. Penulis berpendapat, kita, khususnya kaum pemuda, perlu menggali kembali sejarah dan makna Pancasila, karena betapapun, ia pernah menjadi simbol pemersatu bagi bangsa ini. Terlebih di tengah kecenderungan bangsa Indonesia kehilangan pegangan normatif bersama, kita membutuhkan norma pengikat dan pemersatu, termasuk dalam membangun kebudayaan nasional dan mewujudkan jatidiri bangsa yang kukuh.

Merujuk pada fakta sejarah, Pancasila digali pertama kali oleh Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Dalam pidato yang beliau di depan para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ia menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang diajukan ia namakan sebagai filosofische grondslag.

Sebetulnya, apa yang dipidatokan oleh Soekarno tersebut, merujuk pada Saafroedin Bahar , lebih tepat disebut sebagai kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur.

Lebih jauh, Saafroedin Bahar menjelaskan:

“Sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai pembagi persekutuan yang (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai nasionalisme, islamisme, marxisme.“ 

Pancasila, secara historis memang berhasil dijadikan sebagai faktor pemersatu bagi berbagai komponen bangsa di era perjuangan kemerdekaan. Namun, sesungguhnya, sebagai dasar negara, ideologi maupun falsafah, Pancasila belum terumuskan dengan jelas wujud implementatifnya. Pada era Soeharto menjabat presiden, memang sempat dituliskan bahkan disebarluaskan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun, karena publik menangkap kesan pemaksaan pada upaya itu, seiring dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto, sirna pulalah karisma P4: ia tak lagi banyak dirujuk.

Ke depan, tampaknya kita perlu merekonstruksi Pancasila, merumuskan wujud implementatifnya sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa, sehingga kita punya rujukan bersama untuk membangun kebudayaan nasional dan mengukuhkan jatidiri bangsa. Untuk kepentingan ini, kita bisa coba mengkaji tafsiran dan penjelasan Saafroedin Bahar mengenai Pancasila sebagai berikut:

“Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir, sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak atas kebebasan berama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun juga.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama [yang harus diwujudkan] oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.

Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun 1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti Bhinneka Tunggal Ika dalam Lambang Negara, yang artinya: “walau berbeda-beda namun tetap satu jua”. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit, pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia beapapun makna filsafati yang terkandung dalam frasa ini jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights (1997).” 

Kebudayaan nasional dan jatidiri bangsa, bisa dirujukkan kepada Pancasila dengan mempertimbangkan berbagai tafsiran yang ada, salah satunya yang dipaparkan Saafroedin Bahar di atas. Dalam pergaulan global, selayaknyalah manusia Indonesia bisa tampil dengan sebuah identitas kebudayaan yang khas, yang berdasarkan Pancasila. Perujukan pada Pancasila sebagai common platform kebangsaan, adalah sebuah pilihan, agar di samping kemajemukan budaya yang dimerdekakan, kita juga memiliki sebuah kebudayaan nasional yang mempersatukan. Secara lebih praktis, jatidiri bangsa Indonesia bisa dirumuskan sebagai berikut: bangsa Indonesia adalah mereka yang berpikir dan bertindak berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dan Keadilan Sosial. Dalam bahasa yang lebih sederhana, manusia Indonesia semestinya dikenal sbagai manusia yang spiritual, humanis, mengedepankan persatuan, suka bermusyawarah, dan bersikap adil. Tentu saja, kesederhanaan rumusan tersebut hanya dalam tulisan: pada prakteknya, menerapkan dan menanamkan sebuah nilai ideal dalam kehidupan nyata, tentu saja sangat tidak sederhana, lebih tepatnya, sangat sulit. Namun, itu tak sepatutnya menghalangi ikhtiar kita untuk terus menerus mengupayakan lahirnya manusia Indonesia yang unggul dalam pemikiran, sikap dan tindakan, serta sanggup mewujudkan impian bersama, berupa bangsa yang jaya, negeri gemah ripah loh jinawi.


Setyo Hajar Dewantoro

0 komentar:

Posting Komentar

Archive