. . . Perjalanan ini...akan mengajari kita untuk belajar mengerti bahwa semua kisah, semua hal, semua peristiwa, air mata, canda, tawa, dan sebuah senyuman... menyimpan pesan yang tak selalu sama... dan tugas kita tak lebih hanyalah belajar untuk bisa memahaminya . . .

Sepenggal catatan hati

Search ?

REPOSISI JATI DIRI BANGSA

NASIONALISME fasis di Uni Soviet dengan komunismenya terbukti bangkrut. Yugoslavia, dan Cekoslovakia terpecah, sementara Jerman justru bersatu. Apakah yang sesungguhnya terjadi? Dalam The End of History and the Last Man (Fukuyama: 2002), fenomena tersebut dilihat sebagai isyarat dunia sedang bergerak ke dalam "tatanan baru" yang ia sebut sebagai new liberalism.

Problem mendasar untuk konteks Indonesia adalah betapa ruang kebangsaan sebagaibangsa yang berdaulat dan memiliki identitas khas keindonesiaan sedikit demi sedikit mulai kendur dan dipertanyakan sejumlah kalangan. Arus globalisasi yang sedemikian kuat telah menjadikan dunia ini sebagai pasar ideologi yang saling bersinggungan. Konsekuensi logisnya adalah apa yang selama ini diagung-agungkan sebagai identitas atau jati diri kebangsaanterasa kian kehilangan ruhnya.

Globalisasi yang identik dengan pasar terbuka (open market) dan semangat persaingan (competition) membuat Indonesia yang saat ini masih dalam transisi demokrasi kehilangan jati dirinya. Katup-katup pengaman sosial tampaknya tidak bekerja dengan baik karena memang tidak mudah untuk mengelola perubahan yang sangat cepat. Di sisi lain terjadi bias kegamangan terhadap ideologi Pancasila di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jati diri bangsa

Berbicara tentang membangun jati diri adalah suatu proses penumbuhan dan pengembangan nilai-nilai luhur yang terpancar dari hati nurani melalui mata hati dan direfleksikan dalam pemikiran, sikap dan perilaku. Kecenderungan selama ini pendekatan jati diri hanya menggunakan cipta dan karsa serta tangan atau karya saja, tetapi ke depan sudah saatnya menampilkan olah rasa dalam membangun jati diri bangsa.

Pada dasarnya, jati diri bangsa dipengaruhi oleh perkembangan sistem nilai yang dianut dan dipahami, yang senantiasa berubah secara dinamis mengikuti paradigma yang berlaku. Menurut Kuhn (1996), paradigma sebagai suatu himpunan pendapat atau pengertian yang dapat memberikan jawaban atau penjelasan pada suatu pertanyaan ilmiah; atau pendefinisian dari suatu anggapan untuk berbagai masalah dan metode yang absah; atau suatu kriteria untuk menentukan permasalahan yang dipertanyakan.

Dari uraian itu, maka membangun jati diri bangsa akan terurai dalam bingkai utama, yaitu persatuan bangsa, Pancasila, dan globalisasi. Ketiga konsepsi tersebut sebagai bingkai sekaligus pijakan utama karena Indonesia bukanlah suatu entitas tunggal yang homogeny dan terlepas dari pengaruh dunia luar. Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk, namun keanekaragaman tersebut menyatu dalam persatuan dan kesatuan bangsa yang merupakan konsensus final dengan membentuk NKRI dan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negaranya.

Persatuan bangsa

Disadari bahwa semangat kesatuan dan persatuan pernah disalahartikan untuk mengendalikan negara secara otokratik. Reformasi bukanlah revolusi, bukan pula suatu evolusi biasa, tetapi evolusi yang dipercepat (accelerated evolution), yang diakselerasi sebagai indeks atau root principles of democracy yang dilakukan secara gradual dan sistematis, hal-hal yang di masa lalu itu tidak baik, tidak benar, perlu disempurnakan dan harus diperbaiki, khususnya yang berkaitan dengan aktualisasi proses demokrasi. Reformasi bukan penghancuran total secara emosional terhadap hasil-hasil di waktu yang lalu untuk kemudian dibangun suatu sistem yang betul-betul orisinal karena hakikat reformasi bukan revolusi yang sporadis dan mengubah seluruh aspek kehidupan bangsa.

Pada era pascaperang dingin, ancaman terhadap suatu bangsa di dunia tidak lagi bersifat konvensional militeristik dengan aktor negara, tetapi bersifat nontradisional (non traditional security threat) dengan pelaku non state actors seperti terorisme, kejahatan transnasional terorganisasi, perusakan lingkungan hidup, perdagangan senjata api, imigran gelap, perdagangan manusia untuk prostitusi dan sebagainya, termasuk di dalamnya persoalan kemiskinan, penyakit menular, perang saudara, senjata nuklir, bahaya perang dan lain-lain.

Modal dasar bangsa Indonesia untuk menghadapi itu semua adalah nilai-nilai dasar yang telah menjadi konsensus nasional, yaitu Pancasila, UUD 1945, bhinneka tunggal ika, dan NKRI ditambah wawasan nusantara sebagai geopolitik dan ketahanan nasional sebagai geostrategi. Ketahanan nasional (national resilience) pada hakikatnya merupakan kondisi tingkat peradaban (the level of civilization) suatu bangsa yang tidak dapat hanya diukur atas dasar parameter kemampuan defence and security, pertumbuhan ekonomi dan jumlah pendapatan perkapita suatu bangsa. Akan tetapi, juga ditentukan oleh kondisi stabilitas politik dan perlindungan HAM, tingkat demokrasi, tingkat kemiskinan, kemampuan suatu bangsa untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di era globalisasi, kemajuan pendidikan dan sains serta teknologi, dan sebagainya, yang semuanya sebenarnya merupakan jumlah keseluruhan dari human and national capabilities.

Konsensus nasional (Pancasila, UUD 1945, bhinneka tunggal ika dan NKRI, wawasan nusantara dan ketahanan nasional) harus dilihat sebagai "jati diri bangsa" dan ditempatkan sebagai margin of appreciation. Selain itu, semangat reformasi mengharuskan kita untuk menghormati berbagai persyaratan untuk hidup bermartabat (living in dignity) yang merupakan segitiga yang bersifat universal yaitu demokrasi, rule of law (hukum), dan perlindungan HAM. Jati diribangsa tersebut hanya dapat terbentuk melalui perilaku pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, yang mempunyai semangat perubahan, global, dan transformasional serta tetap memiliki semangat kebangsaan yang kuat.

Pancasila

Dalam buku Manusia Pancasila (Sujana: 2006) dipaparkan bahwa manusia Pancasila adalah manusia dengan kepribadian religius, humanistik, ontologis monistik (cinta persatuan kesatuan), demokratis dan adil (sebagai cerminan sila-sila Pancasila). Kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia sebenarnya lengkap. Namun kurang diamalkan dalam aktivitas kehidupan faktual dan tidak muncul menjadi pedoman dan rujukan kehidupan sehari-hari, nilai-nilai yang hidup tersebut belum sesungguhnya terejawantahkan dalam jati diri masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, menghadapi sinisme terhadap Pancasila, yang kita butuhkan adalah, "menata kembali kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila", bagaimana Pancasila, kebangsaan dan nasionalisme dapat menjawab tantangan zaman di era globalisasi sekarang dan mendatang.

Upaya penataan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila, berhadapan dengan tantangan ideologis terhadap Pancasila, masa kini dan masa depan. Pancasila saat ini berhadapan dengan ideologi "global". Akan tetapi, hidup dalam globalisasi yang sarat dengan hukum dan kaidah-kaidah kapitalisme, pasar bebas, pasar terbuka menjadikan Pancasila dalam posisi antagonis, sehingga bangsa yang cerdas dalam era globalisasi, bukan bangsa yang terus mengeluh, menyerah, dan marah, tetapi bangsa yang mampu mengalirkan sumber-sumber kesejahteraan yang tersedia di arena global, seperti pengetahuan, teknologi, modal, dan informasi serta sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Prinsip dasar yang perlu dibangun adalah jadikan Indonesia sebagai ladang yang teduh bagi bertemunya anak bangsa yang penuh dengan perbedaan. Desentralisasi dan otonomi daerah sangat-sangat penting, tetapi sejauh mungkin harus dihindari jangan sampai mengancam NKRI, nasionalisme, dan equilibrium kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses besar reformasi, demokratisasi dan rekonstruksi tetap harus berjalan secara damai, tanpa kekerasan, secara tertib dan stabil. Hanya cara itulah bangsa ini akan mampu menata kembali kerangka kehidupan bernegara yang dicita-citakan bersama.

Bagi Indonesia, rumusan faham kebangsaan telah dirumuskan dengan jelas di dalam Pembukaan UUD 1945. Membangun sebuah negara kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Membina persahabatan dalam pergaulan antarbangsa. Menciptakan perdamaian dunia yang berlandaskan keadilan. Menolak penjajahan dan segala bentuk eksploitasi, yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Upaya mengembangkan faham kebangsaan itu, dengan sendirinya akan menyesuaikan diri dengan tantangan perubahan zaman. Reposisi jati diri bangsa di tengah arus globalisasi harus bertumpu pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, wawasan nusantara dan ketahanan nasional yang mampu memperkuat posisi ke dalam dan ke luar untuk memelihara dan mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah NKRI dalam kerangka kepentingan kesejahteraan bangsaIndonesia, sehingga semangat nasionalisme yang dulu dibangun dan diberdayakan untuk mengusir penjajah, sekarang harus dijadikan sebagai landasan untuk membangun bangsa, agar menjadi bangsa yang maju, terhormat, dan bermartabat, serta sejajar denganbangsa-bangsa lain di dunia.

0 komentar:

Posting Komentar

Archive