. . . Perjalanan ini...akan mengajari kita untuk belajar mengerti bahwa semua kisah, semua hal, semua peristiwa, air mata, canda, tawa, dan sebuah senyuman... menyimpan pesan yang tak selalu sama... dan tugas kita tak lebih hanyalah belajar untuk bisa memahaminya . . .

Sepenggal catatan hati

Search ?

MENJADI BIROKRASI PEMBELAJAR (Dibawah Bayang-Bayang Patologi Birokrasi)



"…sebuah tradisi yang didasarkan atas gagasan sederhana bahwa kita memiliki ikatan satu sama lain, dan ikatan yang menyatukan kita itu jauh lebih kuat dibandingkan sesuatu yang dapat memisahkan kita. Jika semakin banyak orang yang percaya pada kebenaran proposisi itu dan bertindak sesuai dengannya, maka saya yakin kita tidak hanya dapat menyelesaikan setiap persoalan, tetapi kita juga mampu melakukan sesuatu yang (lebih) bermakna buat kehidupan yang lebih baik" (Barack Obama on The Audacity of Hope, 2006).

Pendahuluan
Makalah ini merupakan sebuah resume terhadap Buku The Global Learning Organization (Michael Marquardt dan Angus Reynolds), khususnya Bab VI Obstacles and Challenges yang di dalamnya lebih banyak mengungkapkan “Cerita Kemalangan” (Tales of Woe) dan “Dongeng-dongeng” (Myth) seputar gegalan individu dan organisasi untuk tumbuh dan berkembang menjadi sebuah organisasi pembelajaran global. Selain itu, buku ini juga ditulis menggunakan pendekatan organisasi bisnis, sehingga pengadaptasian yang dilakukan penulis dengan coba membahasnya dari sudut pandang birokrasi menjadi sedikit janggal dan penuh tantangan. Hal ini dilakukan penulis, semata-mata untuk mendekatkan penulis kepada konsep-konsep yang ditawarkan kepada konsentrasi yang digeluti penulis yaitu “Kebijakan Publik”

Dibawah Bayang-Bayang Patologi Birokrasi
Jika kita ditanya : “Apakah yang dapat mengubah dunia? Atau apakah yang dapat mengubah kondisi kehidupan menjadi lebih baik? Salah satu kata kunci yang bisa menjawab pertanyaan ini adalah “belajar” atau proses pembelajaran. Belajar adalah proses yang memberikan peluang perubahan sekaligus jaminan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Tak heran, jika sejak era klasik umat manusia berlomba-lomba meraih impian dan cita-citanya melalui proses belajar, yang diyakini mampu menjawab impiannya, menemukan jati dirinya, dan menemukan pengakuan dari lingkungannya atas eksistensi kemanusiaannya. Proses belajar akan membangun peradaban.
Faktanya, (mungkin juga menjadi persoalan) adalah mengapa kehidupan selalu menghadirkan dua realitas, yaitu kesuksesan ataupun kegagalan? Jawabannya, bahwa yang sukses adalah mereka yang selalu optimis, memiliki komitmen kuat dan tidak pernah menyerah meraih impiannya. Sedangkan yang gagal (atau kurang berhasil) adalah mereka yang selalu pesimis, bersikap remeh, tidak terbuka dan tidak memiliki komitmen kuat mengubah kehidupan melalui proses pembelajaran. Manusia atau masyarakat seperti ini menjadi kurang peka terhadap dinamika nilai-nilai dan perkembangan lingkungan. Mereka ibarat “katak dalam tempurung”, yang memandang dunianya hanya sebatas “satu batok kelapa”. Mereka akan mengalami kesulitan dalam menjalani keseharian hidupnya.
Kehidupan ini bukan soal nasib. Sejarah telah cukup banyak berbicara dan memberikan bukti-bukti monumental terhadap karya nyata para pelakunya. Gemerlapnya kerlap-kerlip lampu yang kita nikmati sekarang, adalah bukti nyata dari suatu proses pembelajaran yang panjang dan usaha yang tidak mengenal lelah dari seorang Thomas Alfa Edisson.
Proses belajar juga menjadi bagian dari sebuah organisasi, termasuk birokrasi. Jika kita ingin organisasi birokrasi itu lestari, maka birokrasi harus diperlakukan seperti mahluk hidup, dengan mengalirkan inovasi sebagai urat nadi organisasi. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimanakah kondisi birokrasi kita, apakah birokrasi telah mampu menjadi suatu entitas pembelajar yang menghadirkan perubahan kehidupan pemerintahan ke arah yang lebih baik? Ataukah birokrasi kita hanya mampu menjadi “birokrasi katak” yang hanya hidup dan memandang dunianya sebatas dan seluas batok kelapa saja?
Bukan rahasia lagi, bahwa birokrasi pemerintahan saat ini belum sepi dari berbagai sorotan dan kritikan. Jujur kita akui, bahwa sisi buruk birokrasi masih lebih banyak disorot, dari pada sisi baiknya. Birokrasi kita, masih sangat identik dengan patologi seperti kecenderungan in-efisiensi, penyalahgunaan wewenang, KKN, perilaku rent-seeking, dan gaya pelayanan yang tidak berperspektif pelanggan. Kondisi ini membuat citra birokrasi dimata publik menjadi “jelek”, sehingga masyarakat menjadi apatisk apabila akan berhubungan dan berurusan dengan birokrasi. Dalam keapatisan tersebut, agar urusan berjalan lancar, akhirnya masyarakat mengikuti sistem “gelap” birokrasi tersebut. Inilah yang kemudian melestarikan perilaku korup dalam masyarakat kita, dan menjadikan tujuan “mulia” birokrasi melenceng dari arah semula.
Strategisnya peran birokrasi dengan berbagai tantangan patologinya, mengharuskannya membaharui diri, berkembang serta memiliki keunggulan kompetitif. Birokrasi harus menjadi organisasi pembelajar dan memiliki kemampuan untuk mengelola hasil belajar itu dengan baik. Schwandt menyatakan, bahwa organisasi pembelajar, memungkinkan organisasi mengubah apapun (akses, informasi dan sumberdaya) menjadi pengetahuan yang berharga (valued knowledge) yang akan meningkatkan kemampuan organisasi. Organisasi pembelajar bisa dikatakan merupakan wadah dengan sistem tertentu yang memungkinkan setiap anggotanya untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuannya.
Birokrasi pembelajar, menjadikannya terbuka, berani merubah kondisi yang tidak benar menjadi benar, rendah hati, tidak cepat berpuas diri (apalagi menjadi congkak), tidak cepat berputus asa (apalagi rendah diri, apatis, pesimis), dipenuhi dengan kematangan dan kecerdasan (intelijensia, emosional dan spiritual), tetap penuh semangat serta percaya diri untuk bangkit kembali ketika mengalami kegagalan.
Melihat realitas birokrasi Indonesia saat ini, tidak ada salahnya bila kita bercermin pada  Birokrasi di Jepang atau negara maju lainnya, atau mungkin yang lebih bisa kita jangkau adalah Kabupaten Sragen di Jawa Tengah yang sekarang ini sedang tumbuh menjadi birokrasi pembelajar. Birokrasi pembelajar adalah birokrasi yang digerakkan oleh sosok-sosok aparatur yang memiliki spirit pembelajar, setidaknya memberikan harapan untuk mempercepat terwujudnya visi Indonesia yang berbudaya, berdaya saing dan sejahtera. Birokrasi pembelajar, diharapkan menjadi pelopor masyarakat pembelajar, yaitu kegiatan perluasan kesadaran secara tajam tentang diri sendiri, dunia sekitar dan keterkaitan keduanya yang memampukan kita meningkatkan relevansi, inovasi dan kualitas diri, serta kualitas masyarakat. Birokrasi pembelajar harus mengalahkan budaya malas, karena manusia yang menyerah pada kemalasan, akan terperangkap pada keterbelakangan. Birokrasi pembelajar merupakan kemutlakan jika tidak ingin kehilangan kemuliaannya.
Menurut Marquardt dan Reynolds, (1994:91) ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam membangun sebuah organisasi pembelajaran yaitu: 1) individu dan kelompok; 2) sistem organisasi dan perilaku; dan 3) lingkungan global.  Selanjutnya ketiga hal ini akan dibahas secara bersama oleh penulis, tanpa perlu memisahkannya per poin, karena ketiga hal ini saling berhubungan dan meiliki keterkaitan yang erat.

Manusia Pembelajar
Manusia pembelajar adalah basis bagi organisasi pembelajar yang kemudian menjadi basis lagi untuk masyarakat pembelajar. Di atas telah didefinisikan bahwa belajar adalah kegiatan perluasan kesadaran secara tajam tentang diri sendiri, dunia sekitar, dan keterkaitan keduanya yang memampukan kita meningkatkan relevansi, inovasi, dan kualitas diri kita, produk kita dan organisasi kita.
Jadi hakikat menuju sukses adalah membangun manusia pembelajar (learning individu). Persoalan terbesar dalam upaya pengembangan manusia pembelajar (dan karena itu organisasi pembelajar) adalah fakta bahwa manusia itu malas belajar. Sebabnya sederhana, belajar itu pada dasarnya susah.
Belajar secara fundamental terdiri dari dua kegiatan, un-learning dan pro-learning, yaitu menanggalkan ilmu lama dan pada saat yang sama menyerap ilmu baru. Menanggalkan paradigma lama dan serentak mengadopsi paradigma baru. Melepaskan ideologi lama sekaligus menganut ideologi baru. Membuang konsep lama serta menerima konsep baru.
Belajar jelas menjadi sulit karena menanggalkan yang lama-lama itu tidak mudah sama sekali, karena kita sudah nyaman dan aman dalam pelukannya. Di sini un-learning adalah sebuah penderitaan, karena kita dituntut untuk menanggalkan kedamaian dan ketenteraman yang sudah akrab. Dalam belajar, untuk paling tidak sejenak, kita harus berada di ruang ketidakpastian, yang bagi banyak orang adalah sebuah kebingungan yang tidak nyaman.
Lebih banyak orang bersikukuh dengan pendapat lama, paradigma lama. Kadangkala paradigma lama ini demikian berkarat sehingga hampir mustahil melepaskannya. Mereka terjebak dalam apa yang disebut sebagai kebekuan paradigma, dimana mereka mengalami tunnel vision dan akhirnya jatuh ke dalam fanatisme yang sempit. Ironisnya mereka tidak tahu bahwa mereka sedang sakit. Orang semacam ini mustahil belajar. Diperlukan sebuah krisis maha besar untuk membuat orang begini mau berubah, menerima kenyataan baru, dan beradaptasi. Sayangnya dalam kebanyakan kasus, waktu tidak berpihak lagi pada mereka. They learn too slow, too little, and too late.
Pro-learning di pihak lain, adalah sebuah kerja keras, yakni pengerahan energi bio-psiko-spiritual dari dalam diri kita untuk mengerti diri kita dan dunia sekeling kita.
Mengerti diri sendiri (improving self-awareness) adalah sebuah perjalanan ke dalam diri sendiri, menjelejahi dan menziarahi hati dan pikiran kita yang terdalam. Namun ternyata jalannya tidak menurun, melainkan menaik. Tepatnya, perjalanan ini adalah sebuah pendakian batin-intelektual sampai kita tiba di sebuah ketinggian kesadaran yang memungkinkan kita mempunyai perspektif yang luas akan kehidupan ini sendiri. Jika kita tiba di tempat tinggi itu maka kita menjadi orang bijaksana. Kita mampu melihat kenyataan dan panorama kehidupan secara lengkap, ada dunia bio-fisikal, ada dunia mental-psikologikal, ada dunia moral-spiritual, ada dunia sosio-komunal lengkap dengan sub-ruangnya seperti ekonomi, politik, keluarga, agama, budaya, hankam, dan sebagainya.
Bila pendakian kita cukup tinggi, maka pandangan kita menjadi lengkap; maka kita tidak lagi terpecah, tidak lagi sektarian, melainkan integral dan holistik. Kita dimampukan memahami dunia sebagai sebuah sistem besar dan agung dengan segenap tali temali dinamikanya secara organik. Pendakian ini memerlukan energi besar, stamina tinggi, waktu yang lama, dan kemampuan mengalahkan keinginan diri untuk bersantai-santai dan bersenang-senang.
Pada fihak lain, belajar memahami dunia sekitar kita, juga memerlukan kerja keras. Jika upaya memahami diri sendiri saya umpamakan bagai pendakian batin-intelektual, maka dari ketinggian itu kita menggunakan teleskop untuk melihat dunia dan setiap bidang secara teliti. Dengan mata telanjang kita cuma melihat pemandangan, tetapi tidak mampu melihat kekhususan. Jadi kita memerlukan teleskop dan mikroskop sekaligus. Tepatnya kita dituntut untuk belajar secara makro dan menjadi generalis, tetapi mendalami secara mikro dan menjadi spesialis. Hanya dengan inilah kita dapat memahami dunia sekeliling secara utuh, multidisipliner, dan integral, dan lagi: tajam serta akurat
Agar efektif dalam proses belajar ini, kita dituntut untuk menguasai penggunaan learning toolsdalam diri kita. Learning tools terpenting ialah:
1.      kemampuan berpikir persepsional-rasional (perceptional-rational thinking ability). Kapasitas ini memampukan manusia untuk mengerti fakta-fakta tentang dirinya dan alam eksternal di luar dirinya, serta memahami relasi antarfakta, termasuk hukum-hukum yang mengaturnya;
2.      kemampuan berpikir kreatif-imajinatif (creative-imaginative thinking ability). Kapasitas ini memampukan manusia untuk menggagas hal-hal baru dalam rangka mencari solusi-solusi cerdas bagi masalah-masalah kehidupannya, termasuk untuk menciptakan konteks belajar yang dikehendakinya;
3.      kemampuan berpikir kritikal-argumentatif (critical-argumentative thinking ability). Kapasitas ini memampukan manusia untuk menilai secara kritis fakta-fakta kehidupan, mengambil sikap, membuat keputusan-keputusan yang dianggapnya baik;
4.      kemampuan memilih dari sejumlah alternatif yang ada (the power of choice). Kapasitas ini memampukan manusia untuk memilih antara yang baik dan buruk, antara yang berguna dan merugikan, antara yang suci dan profan, bahkan antara yang baik dan lebih baik atau antara yang buruk dan lebih buruk;
5.      kemampuan berkehendak secara bebas (the power of independent will). Kapasitas ini memampukan manusia untuk mengerahkan energi bio-psiko-spiritualnya untuk merealisir keinginannya;
6.      kemampuan merasakan (the capacity of emotional feeling). Kapasitas ini disebut juga emosi yang memuat macam-macam perasaan manusia baik yang enak maupun tidak enak. Emosi yang terbangkitkan secara cerdas (misalnya amarah, cinta, gembira, sedih, empati) adalah sebentuk energi psikis yang amat kuat dan dapat difokuskan untuk mencapai sasaran yang dikehendaki; dan
7.      kemampuan memberi tanggapan moral (the capacity of moral resnponse). Kapasitas ini memampukan kita merasakan suasana moral di sekitar kita melalui ketajaman suara hati dan kesadaran moral kita, utamanya mengenai kebenaran, keadilan, dan kebaikan; sehingga kita selalu bisa membuat penilaian-penilaian dan tangapan-tanggapan moral yang efektif.
Sebetulnya the seven tools ini adalah perlengkapan kemanusiaan kita yang di-install oleh Tuhan dalam blue-print penciptaan kita. Kita akan efektif dalam belajar apabila mereka digunakan dengan baik dan benar, tetapi juga ketujuh alat itu akan makin ampuh jika digunakan secara maksimal.
Di samping learning tools di atas, agar seorang individu bekembang menjadi pembelajar yang efektif, maka dia harus memiliki dan memelihara sebuah learning spirit sebagai berikut:
-          cinta akan pengetahuan dan pengertian; ini penting sebagai the unlimited energy for learning;
-          menerima tanggungjawab bahwa dirinyalah menjadi penentu utama kemajuannya; dia harus dapat berkata I am the captain of my soul - I am the master of my fate;
-          bersedia menunda kesenangan, tahan dalam penderitaan, tidak mengumbar kesenangan-kesenangan dalam proses berburu pengetahuan itu. Iini akan lebih mudah dilakukan bila cinta belajar sudah ada;
-          bersedia untuk selalu tunduk pada kenyataan; tidak merasa sudah paling tahu; dan tidak memutlakkan apa yang diketahui dan diyakininya;
Dengan learning spirit yang kuat, dilengkapi dengan learning tools yang ampuh, dibekali denganlearning purpose yang jelas, maka proses menjadi learning individu mudah-mudahan bisa berlangsung lebih cepat, menggapai sukses.

Membangun Organisasi Pembelajar
Membangun organisasi pembelajar (learning organization) pada dasarnya adalah membangun manusia-manusia pembelajar dalam organisasi. Memang tidak dengan sendirinya sehimpunan manusia pembelajar menjadi organisasi pembelajar. Tetapi tidak ada organisasi pembelajar tanpa manusia pembelajar. Untuk membangun organisasi pembelajar, diperlukan disiplin organisasi untuk mengaktualisasikannya, antara lain:
-          membangun kultur dan iklim belajar yang positif;
-          menyediakan fasilitas belajar yang memadai;
-          merencanakan program belajar yang baik;
-          menyediakan mentor belajar yang efektif; dan
-          membangun infrastruktur organisasi yang efektif sebagai konteks belajar terutama: visi dan misi organisasi, nilai-nilai dasar bersama, sistem-sistem organisasional, dan strategi umum menuju realisasi visi dan misi di atas.

“Belajar tiada mengenal usia,
selama manusia hidup, selama itu pula
proses belajar akan terus berlangsung.
Selama masih ada masyarakat,
selama itu pula birokrasi diperlukan.
Selama birokrasi masih diperlukan,
selama itu pula birokrasi harus senantiasa belajar.
Birokrasi pembelajar adalah birokrasi yang ingin berubah,
dan dapat mengubah dunia ke arah yang lebih baik”.

0 komentar:

Posting Komentar

Archive