VIVAnews--Kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama begitu gegap gempita. Media massa sudah mengulasnya jauh hari sebelum orang terpenting di dunia ini tiba ke tanah air. Ada yang harap-harap cemas, apakah dia jadi datang atau tidak. Soalnya, sudah dua kali rencana kunjungannya tertunda.
Itulah sebabnya, begitu pesawat Boeing VC-25 yang di dindingnya bertuliskan Air Force One mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, pada pukul 16.20 WIB, Selasa 9 November 2010, maka detik itu pula masyarakat Indonesia disiram siaran Obama.
Berbagai media massa dan jejaring sosial hiruk pikuk menyiarkannya. Mulai dari dia keluar dari pintu pesawat hingga 18 jam kemudian dia kembali masuk ke pesawat itu, dan menerbangkannya lagi. Di Jakarta pengaruh kehadiran Obama sangat tajam.
Saya merasakannya. Apalagi dalam urusan mengatur waktu pergi dan pulang kantor agar tidak terjebak macet sampai tersihir menyimak kegiatannya. Tiba di rumah, saya mengambil remote mencari channel televisi yang menyiarkan kedatangannya. Sampai-sampai putra saya bertanya, “Mama, kenapa semua heboh dengan Obama?”
Obama memang tokoh kharismatik, orator, humanis, dan bisa juga disebut seorang entertainer. Melalui pidatonya, ia mampu membuat orang tak beranjak dari kursinya. Sosoknya seolah pemicu semangat untuk melakukan sesuatu yang mustahil menjadi kenyataan. Siapa sangka seorang Afro-Amerika yang berayah muslim bisa menjadi presiden di Amerika, Obama faktanya.
Begitu juga ketika dia menjejakkan kakinya di negeri ini. Pria yang menjalani empat tahun masa kecilnya di Menteng Dalam, Jakarta Selatan, itu langsung mampu memainkan emosi rakyat Indonesia. Dengan rendah hati dia menyatakan dirinya adalah bagian dari negeri ini.
Saya tak melihat Obama membusungkan dada sebagai pemimpin negara super power. Tak pula dia mengumbar janji-janji kosong. Untuk membuai rakyat Indonesia, dia cukup berkata “pulang kampung nih’ bercerita masa kecilnya yang suka bakso, nasi goreng, main layang-layang, mandi di empang, juga berlari-lari di pematang sawah di Jakarta. Jadilah dia seolah-olah orang Indonesia yang menjadi Presiden Amerika.
Dulu, Pancasila adalah terobosan
Sesuatu yang membuat saya terpana ketika dia menyampaikan kuliah umum diUniversitas Indonesia. Dia tak memaparkan sebuah perbedaan antara Amerika dan Indonesia yang layaknya langit dan bumi. Tetapi mencari titik kesamaan filosofi, misalnya di Amerika ada E pluribus unum – beragam tapi bersatu, di Indonesia disebut Bhinneka Tunggal Ika –persatuan dalam keberagaman.
Dia lalu bilang, Amerika dan Indonesia mampu menyatukan ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan berbeda di bawah satu bendera. Dia juga bicara soal demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia, tentang keadilan, kesetaraan, dan juga semangat Indonesia yang hendak menggapai kemakmuran.
“Itulah semangat Indonesia. Itulah pesan yang diimbuhkan dalam Pancasila. Di sebuah negeri kepulauan yang berisi beberapa ciptaan Tuhan yang paling elok, pulau-pulau yang menyembul dari samudera, orang bebas memilih Tuhan yang ingin mereka sembah,” kata Obama dalam pidatonya.
Pidato Obama yang menyinggung Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika ini membuat pikiran saya menerawang, berusaha menyambung makna dan arti dari Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Sontak pidato Obama seperti melempar saya ke masa silam. Ketika Indonesia akan dimerdekakan.
Soekarno mengucapkan nama Pancasila itu pada 1 Juni 1945, sebagai fundamen, filsafat, pikiran, jiwa dalam mendirikan Indonesia yang merdeka. Ide dasarnya adalah kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan. “Lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia,” kata Soekarno waktu itu.
Pancasila ini termaktub dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Susunannya menjadi, Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian pada 30 September 1960, Soekarno memperkenalkan Pancasila kepada dunia. Tatkala dia berpidato dalam Forum PBB. Waktu itu dia ikut dalam memperjuangkan nasib negara Asia-Afrika dan mengajak forum PBB “Menyusun Dunia Kembali “(To Build The World Anew)”.
Kini, Pancasila hanya jadi hiasan?
Sebuah terobosan yang dilakukan di saat dunia ditafsirkan terbelah dalam dua golongan, yaitu penganut ajaran Declaration of American Independence, dan Manifesto Komunis. Pembagian dua golongan pemahaman ini adalah berdasarkan pendapat ini ahli filsafah Inggris Bertrand Russell.
“Maafkan, Lord Russell. Saya kira tuan melupakan adanya lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence,” kata Soekarno.
Begitu juga Indonesia. Soekarno mengatakan, Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu. Tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis. “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok.”
“Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa karni. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.”
Maka itu, menurut saya, Obama tak berlebihan jika melihat semangat Indonesia berada pada roh ideologi dan falsafahnya. Sayangnya, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika nyaris menjadi masa lalu. Dalam perjalanannya, keadaan negeri ini sudah banyak berubah sebagai akibat kebijakan pemimpinnya sendiri.
Misalnya, di suatu masa rakyat di negeri dijejali dengan ajaran-ajaran pancasila yang sempit. Sementara, banyak aparat berperilaku tidak Pancasilais. Berbuat semena-mena dan kejam seperti tak punya Tuhan, bertindak tak mencerminkan keadilan, persatuan terjadi saat menggerus kekayaan negara, kemakmuran hanya dinikmati kalangan yang dekat dengan kekuasaan, rasa sosial sering ada motif politik, bermusyawarah pun lebih tepat jika diartikan untuk memaksakan kehendak penguasa, sedangkan berdemokrasi hanya topeng.
Di lain masa, Pancasila seolah-olah menjadi penyebab sebagai lahirnya perilaku aparatur negara yang culas di pemerintahan sebelumnya. Perlahan-lahan Pancasila mulai tak digubris lagi. Bahkan keberadaannya digugat. Kembali muncul perdebatan mengenai ideologi yang mestinya sudah selesai. Seharusnya masuk masa memaknainya dan menanamkan dalam hati warga bangsa, ini ternyata tak terjadi.
Boleh dikata, Pancasila hanya menjadi penghias Undang Undang Dasar 1945 saja. Negeri ini sedang mencoba-coba meniru sistem dari negara lain yang barangkali ideal.
Akhirnya, makna Pancasila mulai kabur. Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi kenangan. Sebagai gantinya, terjadilah pengkotak-kotakan. Misalnya munculnya organisasi keagamaan yang sekaligus menjadi polisi moral. Hubungan antar suku, agama, ras, danantargolongan yang sangat rapuh. Setiap saat bisa meletus kerusuhan.
Obama dan Pancasila
Kini datang Obama bicara soal Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Barangkali dua soal ini yang melekat dalam ingatan Obama tentang Indonesia. Yaitu sejak 1967 hingga empat tahun kemudian dia kembali lagi ke Amerika.
Ketika menjenguk lagi kampung halamannya, dalam fikirannya ya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu yang menjadi filosofi rakyat Indonesia. Karena itu, dia menyisipkannya dalam kuliah umumnya di Universitas Indonesia yang dihadiri enam ribu orang pada Rabu 10 November 2010 itu.
Terlintas dalam benak saya, jangan-jangan di antara ribuan orang yang mengikuti kuliah umum itu ada yang sudah lupa bahwa Indonesia memiliki Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Atau barangkali Obama hendak mengatakan, “Anda memiliki sebuah paham yang bagus yang bisa mempersatukan bangsa, kok ditelantarkan? Mengapa mencampakkan ideologi yang lahir dari budaya bangsa sendiri, lalu meniru-niru paham bangsa lain yang belum tentu cocok?
Pada akhirnya saya bertanya-tanya, “ketika Obama bicara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika apakah kita mesti bangga atau sedih?”
0 komentar:
Posting Komentar